JARUM jam menunjuk angka 8. Truk kuning yang mengangkut tumpukan sampah membusuk terus melaju ke tepian dermaga. Sampai di sana, muatan yang dibawa lekas ditumpahkan. Serasa enggan berlama-lama, truk kuning pun bergegas pergi.
Di bagian bawah dermaga itu, pemandangannya berbeda. Puluhan manusia dan ratusan sapi khusyuk mengamati sampah yang tercurah. Begitu sampah terakhir melayang dari bak truk, manusiamanusia tersebut memulai kerja hari itu. Mereka membolak-balik tumpukan, berharap terselip barang berharga yang laku dijual.
Tak seperti puluhan rekannya yang sudah turun mengais sejak pagi, seorang lelaki lanjut usia masih asyik bersantai di depan rumah kontrakannya. Hidungnya kebal dengan bau sampah yang menusuk.
"Saya biasanya nanti, agak siangan," kata Paijan, 86, memainkan lintingan rokok di tangan. Ia pun menyapa orang-orang yang lewat.
Ia, bersama istri, telah tinggal di kawasan Tempat Pembuangan Akhir Piyungan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, sejak empat tahun terakhir.
Pukul 09.00 hingga pukul 15.00 WIB adalah waktu memulung buat Paijan. "Setelah pukul tiga sore, saya ganti menggembala sapi," terang Paijan. Ia kini menggembala lima sapi dari semula hanya seekor sapi betina. Dua pekerjaan itu dilakoninya hampir setiap hari. Kalau tidak ada keperluan mendesak, Paijan tak akan absen. Dengan ritme seperti itu, suami-istri asal Desa Dlinggo, Kabupaten Bantul, tersebut mampu mengumpulkan penghasilan rata-rata Rp250300 ribu per minggu. Namun, hasil menggembala sapi tidak bisa langsung dinikmati.
Sapi-sapi tersebut bukan miliknya. Keuntungan baru akan didapat setelah sapi beranak pinak.
Bagi Paijan, pekerjaannya sekarang adalah pilihan terbaik. Ia tidak ingin menggantungkan hidup kepada tiga anaknya. Dengan fisik yang tak lagi prima, memulung dan menggembala sapi termasuk pekerjaan yang tidak butuh banyak tenaga dan keahlian.
Dengan pendapatannya sekarang, Paijan sudah bersyukur. Ia tak ingin memforsir tenaga hanya demi mengantongi rupiah sebanyak-banyaknya.
Alasannya jika sakit, bukannya dapat uang, bisa-bisa ia dan istri malah harus menombok untuk biaya pengobatan. Seperti kejadian dua bulan lalu, selama sakit Paijan dan sang istri tak dapat memulung ataupun menggembalakan sapi.
Mereka didiagnosis menderita gangguan pernapasan dengan gejala batuk-batuk. "Susah. Begitu minum obat, langsung ngantuk," keluh Paijan.
Paijan merupakan satu potret dari sekitar 550 pemulung yang bertaruh hidup di TPA Piyungan.
Ketua Paguyuban Pemulung TPA Piyungan, Sudimiyarto, mengatakan penyakit kulit juga kerap menjangkiti pemulung. Ya, kawasan itu, meski volume sampahnya telah menyusut setiap tahun, tetap saja memproduksi racun yang bisa membuat kesehatan manusia sempoyongan.
Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada Hari Kusnanto Josef menyebutkan sampah yang membusuk telah membuat kualitas tanah, air, dan udara sekitar Piyungan telah tercemar zat berbahaya, seperti nitrat dan kalium. (Ardi Teristi/N-3)
Post Date : 06 April 2011
|