|
Utang nonpokok PDAM kepada Pemerintah dihapuskan dan diganti "PR" untuk menambah 10 juta sambungan sampai tahun 2011. Dari mana dananya? Semoga PDAM dan Pemerintah Daerah tidak mengulangi kesalahan di masa lalu, jika harus berutang lagi kepada kreditor. Jangan sampai terjadi gali lubang tutup lubang. Sebagaimana kita ketahui, Pemerintah telah mengabulkan permintaan "para tukang ledeng" dan Perpamsi untuk mengurangi beban utang PDAM. Walaupun tidak seluruhnya dikabulkan, namun ini merupakan berita baik, terutama bagi PDAM yang mempunyai tunggakan yang cukup besar. Mungkin Pemerintah mempunyai alasan lain, mengapa pokok pinjaman tidak ikut serta dihapuskan. Kalau kita cermati, banyak PDAM kesulitan dalam mengembalikan utangnya. Hal ini mungkin karena studi kelayakan atas pinjaman tersebut dulunya tidak begitu obyektif, juga kurang mengedepankan aspek kehati-hatian (conservatism) pemimpin perusahaan dalam melakukan deal atas pinjaman. Bagaimanapun juga, utang harus dibayar, walaupun namanya diperhalus dengan sebutan "bantuan". Jadi, aspek-aspek risiko atas utang tersebut seharusnya dikaji secara saksama dan mendalam dihubungkan dengan kemampuan perusahaan untuk mengembalikannya. Kita harus mempunyai pandangan bahwa donatur tidak mau kehilangan dananya, bahkan dana tersebut harus berkembang! Dengan mind set demikian, maka kita pun harus memanfaatkan dana tersebut sebijak mungkin. Janganlah berpikir dana tersebut pemberian yang tidak perlu dikembalikan. Mungkin saja persentase tingkat bunga "bantuan" tersebut besarnya relatif kecil, tapi juga harus dihitung pula bunga efektifnya. Artinya pengeluaran lain dalam merealisasi turunnya "bantuan" tersebut dibandingkan dengan jumlah pinjaman. Sehingga mungkin saja bunga efektifnya bisa melebihi bunga bila PDAM pinjam ke bank komersial biasa. Bila hal ini terjadi, PDAM sangat terbebani dan berisiko tidak mampu membayar bunga, bahkan yang pokok pun tersendat-sendat. Akhirnya akan muncul denda yang setiap tahun terus bertambah. Kita memaklumi bahwa PDAM bukan perusahaan swasta yang bebas menaikkan tarif sesuai dengan perkembangan biaya dan laba yang diinginkan. Namun PDAM merupakan perusahaan pemerintah yang mana masyarakat sudah terpola bahwa kewajiban pemerintahlah menyediakan kebutuhan-kebutuhan mereka termasuk kebutuhan air bersih. Sehingga tidak aneh di beberapa daerah mungkin akan sulit menaikkan tarif. Padahal tarif tersebut merupakan dasar dalam meraih pendapatan PDAM. Maka di sini peran Pemda masing-masing sangat diperlukan, baik bantuan dana maupun bantuan fasilitas dan support-nya. Banyak PDAM yang mendapat support dari kepala daerahnya, dan ternyata hal ini mempunyai korelasi positif dengan perkembangan PDAM itu sendiri. Penghapusan utang non-pokok dari aspek akuntansi Sebagaimana kita ketahui, hasil akhir dari akuntansi keuangan adalah laporan keuangan yang di antaranya adalah neraca dan laba rugi. Besarnya utang PDAM dalam saat tertentu dapat dilihat dalam neracanya pada sisi pasiva. Termasuk utang pada Pemerintah, dan juga tunggakan bunga dan denda atas keterlambatan pembayaran, dapat dilihat dalam neraca itu. Jadi suatu neraca PDAM bisa saja jumlah utangnya lebih besar daripada modalnya sendiri. Hal ini bisa dikatakan bahwa PDAM tersebut didanai sebagian besar dari utang pada pihak ketiga. Bila hal ini terjadi, maka PDAM tersebut sangat riskan mengalami kerugian secara finansial, karena beban bunga akan besar, apalagi bila disertai denda atas keterlambatan. Sehingga tidak heran bila ada PDAM yang membayar bunga dan dendanya lebih besar dari pokok pinjaman. Bila sudah menunggak dua atau tiga kali pembayaran utang, maka PDAM tersebut akan sangat berat membayar utang periode berikutnya, karena harus ditambah dengan denda, di samping pokok dan bunga. Perolehan laba periode tersebut pun akan sangat berkurang. Beban bunga dan denda akan mengurangi perolehan laba perusahaan dalam periode tertentu. Hal ini dapat dilihat dalam laporan laba rugi. Dalam laporan tersebut akan jelas terlihat berapa PDAM membayar beban bunga dan denda (bila ada) atas utangnya, bila beban bunga dan denda tersebut tidak dikonversi jadi penyertaan Pemerintah. Hal ini dengan asumsi PDAM membuat laporan keuangan (minimal neraca dan laba rugi). Namun bagi PDAM yang tidak membuat laporan keuangan, tidak akan terlihat dengan jelas jumlahnya. Menurut Direktur Pengawasan BUMD BPKP Kasminto, seperti diberitakan MAM edisi 155, ada 119 PDAM yang tidak membuat laporan keuangan. Dengan adanya kebijakan dari Pemeritah menghapuskan beban bunga dan denda, maka PDAM yang berutang akan dapat meningkatkan laba secara finansial (ataupun kerugiannya berkurang) dari hasil operasinya. Oleh karena itu, kebijakan Pemerintah ini harus disambut gembira, setidaknya aliran kas yang tadinya untuk membayar bunga dan denda dapat dimanfaatkan untuk aktivitas perusahaan yang lain. Namun untuk PDAM yang tadinya betul-betul tidak mampu bayar bunga dan denda, dengan adanya kebijakan Pemerintah tersebut akan mengurangi jumlah utangnya. Program 10 juta sambungan Program ini digulirkan Pemerintah sebagai konsekuensi penghapusan utang bunga dan denda atas pinjaman pada Pemerintah. Hal ini sebagai cambuk bagi PDAM agar lebih terpacu untuk beroperasi dengan baik. Hitungan 10 juta sambungan dalam tiga tahun bila dirataratakan pada PDAM yang mengambil bagian, maka masing-masing PDAM mendapat jatah keharusan meningkatkan sambungan kurang lebih 30 ribu per tahun, seperti dikatakan Ketua Umum Perpamsi Achmad Marju Kodri di MAM edisi 155. Menurut saya, hal ini memang cukup berat, karena sudah barang tentu perlu dana untuk menyokong program ini. Padahal PDAM menuntut penghapusan beban bunga clan utang itu karena memang tidak punya dana untuk membayarnya. Hal ini harus disikapi hati-hati oleh masing-masing PDAM, karena bila untuk merealisasikan tambahan sambungan baru tersebut dengan mendatangkan kreditor, maka akan muncul lagi beban bunga atas pinjaman, walaupun persentase bunganya relatif kecil. Apalagi menurut Ketua Umum Perpamsi, program 10 juta sambungan ini akan dibiayai oleh perbankan dan bukan dana APBN atat APBD, sehingga dikhawatirkan akar mengalihkan utang dari Pemerintah ke Perbankan, walaupun persyaratannya "di atas kertas" sangat ringan. Kalau program ini dibebankan hanya pada PDAM sendiri maka sungguh sangat berat. Oleh karen, itu Pemda masing-masing, juga stake holders lainnya, harus ambil bagian karena PDAM tidak bisa begitu saja meningkatkan pendapatannya melalu kenaikan tarif untuk menutupi investasi, tersebut. Bila Pemda tidak membantu maka PDAM khawatir meminjam dana lagi kepada kreditor, sehingga akan terulang membengkaknya utang bunga dan muncul denda baru. Tentu saja PDAM harus berbenah, baik dari aspek teknis maupun manajemen dan keuangan, agar bisa merealisasi program tersebut. Memang hal ini tidak mudah, tapi tidak ada jalan lain kecuali PDAM harus mulai berbenah dan beroperasi secara profesional dan secara bertahap. Perkembangan PDAM secara keseluruhan dalam melayani penduduk Indonesia memang agak lamban. Mengutip Ketua Umum Perpamsi pada pemberitaan yang sama, sampai saat ini yang terlayani baru sekitar 40%. Ditambah hasil program 10 juta sambungan, maka akan mencapai 70% di tahun 2012, sedangkan MDGs menetapkan sebesar 80% di tahun 2015. Jadi, Pemerintah menargetkan tambahan sambungan 10 juta baru merupakan hal yang wajar dan memang harus terealisasi. Tinggal PDAM dan Pemerintah Daerah setempat serta stakeholders lainnya menyingsingkan lengan baju bersama-sama untuk memacu agar PDAM mencapai kinerja sesuai dengan yang ditargetkan. Di samping itu, PDAM perlu pula menjajaki kerja sama dengan pihak swasta yang menguntungkan kedua belah pihak dalam pemenuhan target sambungan tersebut. Harus kita sikapi bahwa pemberian keringanan kepada PDAM dengan menghapuskan beban bunga dan denda atas pinjaman merupakan kepeduliannya Pemerintah terhadap PDAM agar PDAM bisa tetap hidup, tidak mengalami kebangkrutan karena terbebani oleh keharusan membayar bunga dan denda. Terlepas dari salah siapa sehingga PDAM tidak bisa membayar kewajibannya itu, kita harus bersyukur ternyata kepedulian Pemerintah terhadap penyediaan air bersih cukup besar. Mungkin kita bertanya di dalam benak masing-masing, kenapa tidak dengan pokoknya sekalian? Anggap saja bahwa bila dengan pokoknya dihapuskan, maka hal ini berarti tidak ada konsep pembelajaran terhadap PDAM. Saya berkeyakinan bahwa ketidakmampuan PDAM membayar utangnya kemungkinan dikarenakan kesalahan pengelolaan perusahaan dan juga kekuranghati-hatian saat mengajukan pinjaman tersebut. Kita harus mempunyai pandangan bahwa siapa yang pinjam dana, bagaimanapun juga dia harus mengembalikan dana tersebut sesuai perjanjian. Jangan sampai ada istilah, saat meminjam sangat semangat, saat membayar sangat menyengat! Mungkin Pemerintah berpendapat bahwa bila perusahaan terlalu "dimanja", maka dikhawatirkan perusahaan tersebut tidak akan ada usaha untuk memperbaiki diri karena sangat tergantung pada sesuatu hal. Padahal di luar sana persaingan begitu ketat. Untuk bisa memenangkannya, perlu kerja keras, di samping mengaplikasikan konsep-konsep manajemen kontemporer hasil pemikiran para ahli. Di samping memberi keringanan untuk tidak membayar bunga dan denda, Pemerintah memberi tanjakan yakni PDAM diharuskan menambah sambungan baru sebanyak 10 juta. Bila dilihat dari kacamata akuntansi, hal ini merupakan konsep " balance", yang artinya satu sisi dipermudah, di sisi lain diberi target yang harus dicapai. Dalam hal ini, PDAM tidak boleh terlena. Harus terus berjuang untuk meningkatkan pelayanan air bersih, bahkan sampai air siap minum bagi masyarakat Indonesia. Post Date : 30 Oktober 2008 |