Membaca berita soal banjir di Semarang beberapa waktu lalu, saya nyaris tak percaya. Namun, apa mau dikata, tulisan dengan tajuk ”Antisipasi Banjir, Pompa Semarang Perlu Ditambah” (Kompas, 2/10) melaporkan, ”Hujan deras yang mengguyur Kota Semarang menyebabkan sebagian besar wilayah Semarang bagian utara tergenang banjir.”
Sebelum berita itu dimuat, saya sempat berpikir Semarang telah bisa mengatasi permasalahan banjir. Pasalnya, ketika keliling Semarang dengan sepeda angin dalam Semarang Critical Mass nyaris tak terlihat genangan air melimpah sepanjang perjalanan, dari Taman Menteri Supeno, Taman Bubakan, Polder Tawang, hingga Simpang Lima. Padahal, kondisi Semarang saat itu baru saja diguyur hujan deras.
Saya mendapat informasi dari seorang wartawan, pompa air di Semarang telah dimaksimalkan sehingga Semarang tidak lagi banjir. Kontan kondisi itu menggembirakan. Bahkan, ketika te- man-teman dari Yogyakarta datang ke Semarang pun dengan bangga saya ceritakan Semarang telah bebas banjir.
Macetnya drainase
Masih di berita yang sama, menarik membaca tanggapan Pandolin, tukang becak, yang diwawancarai Kompas tentang banjir di Jalan Petek Raya. Pandolin mengatakan, banjir akibat hujan deras seperti ini biasanya kering setelah satu hari. ”Kalau tidak kena rob, sudah bisa kering,” katanya.
Ucapan itu menandakan kebiasaan banjir yang sering terjadi dan biasanya akan kering dalam sehari. Karena debit air yang terlalu banyak, banjir tidak juga surut seperti biasanya.
Dari ucapan Pandolin, dengan tidak menafikan beberapa lokasi di Semarang yang berada di bawah permukaan air laut, terdengar ada yang salah dalam sistem drainase di wilayah tersebut. Jika sistem drainase berjalan baik, tentu air akan mudah mengalir ke sungai sehingga tidak perlu banyak pompa yang diperlukan.
Alasan Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Energi Sumber Daya Mineral Kota Semarang terlalu menggampangkan cara menyelesaikan persoalan dengan mengatakan, pompa kurang memadai. (Kompas, 2/10). ”Khususnya di Semarang Utara, jumlah pompa idealnya lebih banyak dua kali lipat,” katanya (keterangan: jumlah pompa di Semarang Utara 15 unit dari 54 pompa yang ada di Kota Semarang).
Pompa tentu saja perlu, tetapi hanya akan mengatasi permasalahan banjir dalam jangka waktu pendek. Bisa jadi, di tahun-tahun berikutnya pemerintah harus menyediakan anggaran lebih banyak lagi untuk membeli pompa guna mengatasi permasalahan banjir yang terus meluas.
Jumlah debit air yang ada, baik dari hujan lokal, rob, ataupun luapan air sungai, memang diperkirakan tidak meningkat secara signifikan. Namun, yang dikhawatirkan adalah ketidakmampuan suatu daerah untuk menerima limpahan air dan mengalirkannya ke sungai.
Karena itu, permasalahan yang harus dipecahkan adalah bagaimana melancarkan sistem drainase di Kota Semarang? Coba tengok kondisi drainase di wilayah-wilayah yang selama ini terkena banjir, di Jalan Petek Raya misalnya! Apakah sistem drainase telah berjalan sebagaimana mestinya? Dengan kata lain, apakah tak ada sampah yang menyumbat di sepanjang sistem drainasenya?
Peduli sampah
Antisipasi pemerintah dalam menghadapi banjir dengan membersihkan sampah dan mengeruk got dan sungai beberapa waktu belakangan perlu dihargai. Namun, melancarkan drainase tidak hanya dengan cara membersihkan sampah dan mengeruk got dan sungai, tetapi yang paling penting menyadarkan masyarakat untuk peduli terhadap sampah sehingga tidak membuangnya di sembarang tempat, terutama saluran drainase, sempadan sungai, atau bahkan ke aliran sungai.
Jika dicermati, permasalahan sampah di aliran drainase atau sungai tidak dapat dilokalisasi, tetapi dari hulu hingga hilir. Lihat saja sampah yang berjubel di hilir sungai yang ada di Pantai Maron. Sampah itu tidak hanya berasal dari orang-orang di sekitar Pantai Maron saja, tetapi akumulasi dari hulu hingga hilir di sepanjang sungai yang bermuara di Laut Jawa itu. Karena itu, pihak provinsi selaku penanggung jawab di daerah aliran sungai perlu berkoordinasi dengan pemerintah daerah di sepanjang sungai yang dilewati.
Kekurangpedulian masyarakat, terutama di daerah sempadan sungai di Semarang, terhadap sampah dinilai masih minim. Sama seperti ketidakkhawatiran terhadap banjir dalam lirik, ”Semarang kaline banjir, jo sumelang ra sah dipikir”. Jangankan untuk mengelola dan membuatnya memiliki nilai jual, membuang sampah pada tempatnya pun enggan. Berapa banyak titik di sungai yang digunakan untuk tempat pembuangan sampah?
Kalau zaman dahulu ada cerita bidadari yang turun ke bumi untuk mandi karena melihat airnya yang jernih, kini tentu tak ada lagi. Jika masih ada, para bidadari itu tentu tidak mandi di sungai-sungai di Semarang. Bagaimana mau mandi, memandangnya saja pastinya sudah ogah karena penuh dengan sampah.
Sampah-sampah yang dibuang di sempadan sungai biasanya digunakan untuk menguruk tanah-tanah curam di dekat sungai. Bisa jadi, setelah rata, lokasi tersebut terlihat bersih kembali karena telah ditutup dengan tanah dan digunakan untuk mendirikan bangunan atau sekadar untuk bercocok tanam.
Tindakan itu menjadi dilema karena membuat sungai menjadi semakin sempit. Debit air yang mampu ditampung pun semakin menyusut. Jika menerima curah hujan yang tinggi saat hujan atau kiriman air dari hulu yang melimpah, sungai tak mampu menampungnya sehingga bisa mengakibatkan banjir.
Tanggung jawab sosial
Bentuk tanggung jawab sosial pemerintah terhadap rakyat, khususnya Semarang, yang terkena banjir tidak hanya dalam bentuk pembersihan dan pengerukan sungai dan got atau penambahan pompa-pompa penyedot air saja. Pemerintah juga perlu menyadarkan masyarakat agar mau membuang sampah di tempatnya, syukur-syukur mau mengelolanya sehingga dapat memiliki nilai guna.
Di sisi lain, rakyat juga tidak dapat melulu meminta tanggung jawab pemerintah untuk mengatasi banjir. Mereka sebaiknya terlebih dahulu mengubah kebiasaan membuang sampah sembarangan, terlebih di sungai yang membuat aliran sungai terhambat.
Dengan berita tentang banjir di Semarang, saya jadi berpikir ulang untuk pamer Semarang sudah bebas banjir. Akankah setelah Jakarta, Semarang menjadi kota selanjutnya yang akan diprediksi tenggelam karena banjir? Atau Semarang lebih dahulu tenggelam baru kemudian Jakarta? Hanya Tuhan yang tahu.
ARDI TERISTI HARDI Pengamat Budaya, Pernah Menulis Liputan Redaksi Jurnal Balairung #39 UGM tentang Sampah di Sungai Yogyakarta (2005)
Post Date : 03 November 2010
|