SLEMAN, KOMPAS - Rasa memiliki Selokan Mataram belum tumbuh, khususnya di perkotaan. Selokan yang dibangun pada masa penjajahan Jepang itu kerap dianggap tempat sampah sehingga tak bisa maksimal menjalankan fungsi mulianya sebagai saluran irigasi.
Selain sebagai saluran irigasi, aspek historis Selokan Mataram kerap dilupakan. Padahal, ditilik dari berbagai literatur sejarah, selokan yang ide pembangunannya diinisiasi Sultan Hamengku Buwono IX itu "menyelamatkan" ribuan rakyat Yogyakarta dari ancaman kerja paksa penjajah Jepang.
"Karena itu, kami mencoba menumbuhkan budaya memiliki Selokan Mataram yang sekarang ini kondisinya sangat memprihatinkan," kata Ali Syafa'at, salah seorang anggota Komunitas Resik-Resik Jogja (KRRJ), yang menggelar kegiatan Merti Selokan bersama warga RW 26 Pringgolayan, Condong Catur, Depok Sleman, Minggu (7/3).
Sekitar 100 warga Pringgolayan, yang lokasinya di tepian Selokan Mataram, bersama anggota KRRJ bekerja bakti membersihkan bantaran selokan dari sampah yang menumpuk. Di samping kerja bakti, KRRJ bersama warga menggelar acara festival mural anak, diskusi, dan srawung (bergaul) selokan.
Perkotaan parah
Dari survei kecil yang pernah dilakukan KRRJ terhadap selokan sepanjang sekitar 32 kilometer itu, kondisi paling memprihatinkan ada di penggal selokan yang melewati wilayah perkotaan seperti di Kecamatan Depok. "Problem utama adalah pendangkalan. Di salah satu titik di daerah Babarsari, endapan selokan mencapai pangkal paha orang dewasa," kata Ali.
Endapan terjadi karena akumulasi pembuangan sampah warga. Menurutnya, kebanyakan pembuang sampah justru bukan warga sekitar, melainkan mereka yang lewat dengan kendaraan bermotor. Tidak adanya kesadaran itu sangat mengancam fungsi selokan yang menyalurkan air dari Sungai Progo di barat menuju Sungai Opak di timur DIY.
Karena itu, salah satu target kerja bakti Merti Selokan ini untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa selokan ini ada yang memiliki. "Dengan begitu, kami harapkan, mereka yang biasanya membuang sampah ke selokan mengubah kebiasaannya," kata Ali.
Ketua RW 26 Pringgolayan Eddy Purnomo menambahkan, pembuangan sampah di penggal selokan sepanjang sekitar 1 km di wilayahnya terjadi setiap hari. "Selalu saja ada warga yang membuang sampah di selokan. Biasanya mereka membuang pada pagi hari," katanya.
Berbagai sampah yang biasa dibuang adalah limbah rumah tangga yang dibungkus kresek, ban bekas, hingga kasur. "Biasanya sampah- sampah itu menyangkut di tiang jembatan," ujar Eddy.
Ali menambahkan, pihaknya akan terus menggalakkan kegiatan menumbuhkan budaya mencitai selokan di berbagai wilayah yang dilintasi Selokan Mataram. "Kami berharap, pemerintah turun tangan mendorong kegiatan serupa secara periodik dengan skala besar," katanya. (ENG)
Post Date : 08 Maret 2010
|