|
Krisis air bersih (minum) di wilayah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta hampir setiap tahun terjadi. Permasalahan krisis air semakin berat dan meluas, khususnya pada saat musim kemarau panjang seperti sekarang ini. Tidak sedikit warga yang akhirnya terpaksa membeli air dari pedagang, yang beroperasi secara berkeliling. Dan tidak sedikit pula warga, yang untuk kelancaran usahanya, akhirnya menyedot air bawah tanah agar pasokan terjamin. Instalasi "internal" ini bisa dijadikan sumber utama pasokan atau sebagai cadangan. Pakar lingkungan dan pengamat berpendapat bahwa eksploitasi air tanah secara besar-besaran di wilayah DKI Jakarta akan mendatangkan bencana yang tidak kecil. Pengamat sumber daya air, Win Gaza Simbolon, mengatakan, eksploitasi air secara besar-besaran ini harus dihentikan. Pakar lainnya berpendapat, salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya permukaan tanah di beberapa kawasan di Jakarta adalah penyedotan air tanah. Penurunan permukaan tanah ini juga berarti menurunnya daya dukung, sehingga mendatangkan kerugian, seperti makin meluasnya banjir dan kerusakan infrastruktur. Itu antara lain dampak penyedotan air tanah dalam upaya mengatasi krisis air bersih. Dalam konteks ini yang juga perlu diperhatikan adalah krisis air yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Pada musim kemarau seperti sekarang, tidak sedikit warga, terutama yang bukan pelanggan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya, yang kesulitan memperoleh air bersih. Ada yang harus memperdalam sumur pompanya dan banyak pula yang harus membeli air. Itu berarti sebagian penghasilan harus disisihkan untuk konsumsi air. Wakil Ketua Komisi D (bidang pembangunan) DPRD DKI Jakarta, Mukhayar RM, menyuarakan agar kedua operator PDAM Jaya, yakni PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Thames PAM Jaya (TPJ), mencari solusi untuk mengatasi kekurangan pasokan air. Dalam hal ini kedua perusahaan itu diminta mencari sumber air baku lainnya. Permintaan ini tentunya untuk mengantisipasi berkurangnya pasokan air baku dari Waduk Jatiluhur (Purwakarta), Tangerang, dan Bogor. Sasaran utamanya adalah tersedianya pasokan air bersih secara mencukupi. Jika pasokan ini mencukupi sepanjang tahun, termasuk pada musim kemarau panjang, tentu tidak ada lagi masalah. Habislah sudah soal krisis air. Tapi, hal ini tidak mudah sebab di lapangan ditemukan banyak masalah, seperti soal jaringan pipa dan sumber air baku. Untuk meningkatkan kapasitas instalasi PDAM Jaya sudah berulangkali dilakukan upaya. Teknis dan non-teknis pun dibenahi secara terencana dan berkesinambungan, termasuk menjalin kerja sama dengan mitra kerja, PT Palyja dan PT TPJ. Di sisi lain, permintaan akan pasokan air bersih juga meningkat tajam, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan aktivitasnya. Pada akhirnya pasokan itu tidak mampu memenuhi sepenuhnya permintaan. Terbatasnya sumber air baku dan jaringan pipa sudah tentu jadi masalah utama sulitnya meningkatkan kapasitas instalasi penjernihan air. Masalahnya lebih berat lagi jika sumber air baku itu tercemar polusi, yang mengharuskan pihak pengelola instalasi harus menambah biaya untuk proses penjernihan. Inilah masalah-masalah yang harus diselesaikan. Semua pihak tentu mengharapkan krisis air dapat diakhiri dan tidak terjadi lagi krisis seperti sekarang. Lantaran itu, berbagai upaya yang terkait langsung dengan peningkatan pasokan air dan pelayanan PDAM Jaya melalui kedua operatornya perlu didukung. Dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta sebaiknya memperluas kerja sama dengan pemerintah daerah di Jawa Barat dan Banten untuk pengadaan sumber air baku bagi PDAM Jaya. Misalnya dengan pembangunan sejumlah situ atau danau. Juga perlu ditingkatkan kampanye hemat air dan menjaga kelestarian sumber air baku. Secara lebih luas pengelolaan sumber daya air hendaknya lebih ditingkatkan, dengan melibatkan berbagai pihak. Dengan demikian, pada musim hujan tidak terjadi banjir dan pada musim kemarau tidak lagi terjadi krisis air. Post Date : 31 Juli 2006 |