Suasana hening Desa Bukit Karya, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Gorontalo, pecah oleh suara lantang 17 orang perwakilan masyarakat. Alam yang bergunung-gunung dan lahan kering menjadi saksi akan janji mereka.
Kami perwakilan masyarakat Boalemo sepakat dan ikhlas mendeklarasikan bahwa kami mendukung dan berkomitmen untuk tidak membuang tinja di sembarangan tempat, kecuali di jamban dan WC.”
”Kami akan mengawasi dan bersama-sama mencegah kebiasaan membuang kotoran di sungai, di bawah pohon kelapa, semak-semak, tepi pantai, dan tempat lain yang tidak semestinya untuk membuang kotoran. Kami akan mengajak dan membiasakan teman, saudara, dan keluarga untuk menggunakan jamban, sesederhana apa pun bangunannya.”
Itulah deklarasi ”Bukit Karya”, dengan judul besar: Stop Buang Air Besar Sembarangan. Pernyataan itu dibacakan dengan sungguh-sungguh oleh wakil murid sekolah, mahasiswa, pemuda, kaum perempuan, tokoh adat, pejabat, dan masyarakat Boalemo di Desa Bukit Karya, di depan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, beberapa waktu lalu.
Orang kota yang mendengarkan deklarasi itu boleh jadi tersenyum-senyum. Saat dunia di luar desa terpencil itu tengah berkompetisi memenangi perlombaan teknologi, mencari sumber energi baru, dan sibuk dengan misi ke Mars, warga Desa Bukit Karya bertahun-tahun berusaha membiasakan diri buang air di jamban.
Akan tetapi, itulah kerja dan prestasi sesungguhnya di tengah realitas perilaku hidup bersih yang masih rendah, termasuk di wilayah lain di Indonesia. Menurut Kepala Pusat Promosi Kesehatan Lily S Sulistyowati, perilaku hidup bersih dan sehat baru dijalankan oleh 27,8 persen masyarakat di Provinsi Gorontalo. Dengan kata lain, provinsi itu masih berada di peringkat tiga terbawah secara nasional.
Kerja keras masyarakat desa yang sebagian besar hanya mengenyam pendidikan hingga bangku SD—80 persen masuk kategori miskin—itu mulai tampak dan menginspirasi desa lain. Sampai-sampai ada deklarasi khusus tentang buang air besar.
Di kabupaten itu, menurut Bupati Boalemo Iwan Bokings, baru Desa Bukit Karya yang cakupan jambannya mencapai 100 persen. Artinya, tiap keluarga memiliki jamban sendiri. Sebuah pembangunan nyata dan sangat mendasar untuk mengangkat derajat kesehatan warga desa.
Semua itu berawal dari jamban-jamban sederhana yang masih berdiri reyot di desa itu, berdampingan dengan jamban gagah bantuan pemerintah setempat. Jamban lama itu hanya berupa empat tiang kayu dan kain yang diikat menjadi dinding penutupnya. Di dalamnya, warga membuat kakus sederhana dari seng atau tumpukan karung berisi tanah yang dibentuk sebagai saluran ”leher angsa” sederhana. Untuk menampung kotoran, dibuatlah lubang di dalam tanah yang tertutup. Jamban minimalis itu berdiri di belakang rumah-rumah warga.
Menurut Usman Huoyon (50), Ketua Badan Permusyawaratan Desa Bukit Karya, jamban ala kadarnya itu mulai ada akhir 1990-an. Tenaga kesehatan mengajarkan cara membuat jamban sederhana itu. Alasannya, buang air sembarangan memudahkan penyebaran penyakit, seperti diare dan muntaber. Selain itu, dapat mencemari lingkungan. Berbagai penyakit infeksi dan diare sebelumnya memang banyak menyerang anak-anak di desa itu.
Ketersediaan air
Membujuk warga membuat jamban dan buang air di tempatnya bukan perkara mudah. Mereka sebelumnya terbiasa buang air besar di kebun, di bawah pohon kelapa, atau di sungai sembari ditemani semilir angin.
”Tidak perlu bawa air untuk menyiram kotoran dan bilas sehabis buang air. Apalagi dulu air sangat sulit di sini,” ujar Usman. Pria itu baru mulai menggunakan jamban ketika berusia 41 tahun. Sebelumnya? Tempat favorit Usman, ya, di bawah pohon kelapa dan pinggir sungai.
Demi membiasakan buang air di tempatnya, kata Usman, aparat desa bahkan membuat aturan, yakni mendenda Rp 25.000 bagi warga yang tertangkap basah buang air sembarangan. ”Ada juga satu-dua yang tertangkap. Uangnya masuk ke kas desa,” kata Usman.
Maryam (21), warga lainnya, malah masih sulit membiasakan diri menggunakan jamban. ”Tidak biasa saja,” ujarnya sambil menggendong putrinya yang berusia sembilan bulan dan baru saja sembuh setelah terkena diare selama satu minggu.
Penggunaan jamban tidak terlepas dari ketersediaan air. Masuknya program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat pada 2006 dimanfaatkan pemerintah kabupaten untuk mempercepat gerakan penggunaan jamban.
”Dengan adanya air, orang lebih mudah diarahkan untuk buang air di jamban. Di desa ini sudah ada keran air bersih, yang airnya berasal dari mata air di gunung dan dialirkan dengan gaya gravitasi,” tutur Iwan Bokings.
Berdampingan dengan jamban reyot, kini berdiri gagah jamban baru berdinding kayu bercat hijau terang, sumbangan pemerintah setempat. Di jamban baru itu, lubang dan ”leher angsa” sudah terbuat dari keramik atau semen. Lantainya juga di-plur, tak lagi beralas tanah.
Usman sendiri lebih suka di jamban baru itu. ”Sekarang saya malah jijik kalau buang air sembarangan,” ujarnya. Jadi, selamat tinggal pohon kelapa.... INDIRA PERMANASARI
Post Date : 08 Juli 2010
|