|
JAUH panggang dari api. Peribahasa itu mungkin ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan betapa pembahasan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) secara menggebu-gebu di pusat kekuasaan tidak bergema di tataran 'akar rumput'. Hal itu paling tidak terlihat pada saat kunjungan Media bersama beberapa rekan wartawan lainnya ke sebuah desa di daerah Malang. Di Desa Rembun, Kecamatan Dampit yang terletak sekitar satu jam perjalanan dari Kota Malang, masyarakatnya bersama-sama mendirikan perusahaan air minum yang fokus untuk memfasilitasi kebutuhan air bersih di desa itu. Usaha itu dibangun dengan cara bergotong royong yang ditandai dengan memasang pipa sepanjang 10 kilometer untuk mengalirkan air dari mata air di desa tetangga yaitu Desa Jambangan. Keinginan untuk memperoleh air secara mudah dan murah memang sudah menjadi idaman masyarakat Desa Rembun. Sebab, sebelum ada proyek air bersih itu mereka sulit sekali memperoleh air. Penduduk desa Rembun harus mengambil air dari sungai Lasti dan Pamotan yang mengalir di sekitar desa itu. Padahal, dari segi kebersihan, sungai itu telah tercemar limbah pabrik yang ada di bagian hulu kedua sungai itu. Bila musim kemarau tiba, maka pengambilan air harus dilakukan ke mata air yang terletak di desa seberang. Sehingga, dibutuhkan waktu dua hingga tiga jam untuk memperoleh air. Bantuan Bank Dunia Untuk mewujudkan 'megaproyek' skala desa itu tentu dibutuhkan dana yang tidak sedikit, yaitu sekitar Rp200 juta. Bila dana itu dibebankan kepada warga desa, tentu mereka tidak akan mampu. Tetapi, dengan bantuan pemerintah dan Bank Dunia dalam program Water and Sanitation for Low Income Comunities II(WSLIC2) akhirnya masalah pendanaan terpecahkan. Masyarakat menyumbang sebesar 20% atau sekitar Rp40 juta (4% harus berbentuk tunai dan 16% dalam bentuk tenaga dan bahan baku), pemerintah 8% atau Rp16 juta dan sisanya sebesar 72% atau Rp144 dari Bank Dunia. Proyek yang dikerjakan sejak pertengahan 2002 itu, telah dapat dinikmati hasilnya pada 2003. Hal itu terlihat dari kemudahan yang diperoleh warga desa. Misalnya, masyarakat tidak perlu menghabiskan waktu untuk mengambil air. ''Kami sekarang tidak perlu habiskan waktu dua hingga tiga jam untuk ambil air. Waktu yang ada bisa dimanfaatkan untuk mengurus sawah atau kebun,'' jelas Sutrisno salah seorang penduduk Desa Rembun. Manfaat lainnya adalah harga yang dibayarkan untuk setiap meter kubiknya jauh lebih murah. Mereka hanya dikenai tarif Rp250 per meter kubik. Bandingkan dengan PDAM Malang yang menerapkan tarif Rp500 per meter kubik. Bahkan, 'perusahaan air minum' desa ini juga tidak hanya berorientasi bisnis. Mereka juga menjalankan fungsi sosialnya dengan memberikan fasilitas air gratis bagi janda dan warga tak mampu. Dari sekitar 214 pelanggannya, terdapat 7 pelanggan yang mendapat fasilitas gratis itu. Melihat kenyataan di Desa Rembun yang masyarakatnya dapat memenuhi sendiri kebutuhan air bersihnya, kiranya 'hiruk pikuk' dalam pembahasan RUU SDA tidak diperlukan lagi. Yang sesungguhnya dibutuhkan adalah keberpihakan pemerintah dan lembaga-lembaga internasional untuk mendanai proyek seperti yang dilakukan di Desa Rembun. Tanpa adanya bantuan, maka air bersih tidak dapat dinikmati oleh siapa pun. Sebab, mana mungkin PDAM mau menanamkan investasi yang besar untuk memperoleh pendapatan kecil di desa yang relatif kecil. Desa Rembun dengan 250 keluarga bukanlah area yang cukup ekonomis untuk menjadi sumber pendapatan bagi PDAM. Pemerintah dan negara donor harus menunjukkan keberpihakannya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa. Sebagai langkah awal, maka program WSLIC2 yang bernilai sekitar US$106,7 juta tentu bagus. Program itu direncanakan dapat membantu sekitar 2.000 desa di 64 kabupaten di enam provinsi di Indonesia. Namun, jumlah desa yang perlu dibantu tentu bukan hanya 2.000. Karena saat ini diperkirakan masih terdapat sekitar 100 juta orang di Indonesia yang belum bisa menikmati air bersih, berarti ada ratusan ribu desa yang membutuhkan bantuan. Itulah tugas mulia yang harus dilakukan pemerintah dan lembaga internasional lainnya seperti Bank Dunia ataupun AusAID. Langkah itu lebih mulia dibandingkan hanya sibuk mengurusi RUU SDA yang dituding sarat dengan kepentingan kaum kapitalis. Raja Suhud/V-1 Post Date : 16 Februari 2004 |