|
Dengan terjadinya bencana banjir dan tanah longsor di berbagai daerah di Indonesia akhir-akhir ini, saya teringat akan banjir besar Bengawan Solo yang terjadi pada tahun 1966. Banjir itu telah menenggelamkan hampir separuh kota Solo (saat itu), dan dalam perjalanannya ke muara masih menimbulkan bencana di daerah alirannya. Banjir besar sebelumnya terjadi tahun 1904. Sebelum itu, waktu Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dijabat oleh Emil Salim, pernah terjadi banjir besar di Sumatera Selatan. Waktu ada pendapat bahwa banjir tersebut akibat dari kerusakan hutan, beliau menyatakan bahwa lingkungan hutan masih baik tetapi itu merupakan banjir 100 tahunan. Beberapa tahun yang lalu, saya pernah membaca dalam majalah Readers Digest tentang kegigihan seorang penjaga pintu air Sungai Mississipi yang mempertahankan pendapatnya bahwa dalam jangka 100 tahun, sungai besar akan banjir besar. Ia berkampanye, berorasi, dan berbicara pada tiap kesempatan agar penduduk kota yang dilalui sungai tersebut mempersiapkan diri akan datangnya banjir besar tersebut. Pendapatnya itu disampaikan setelah 85 tahun dari banjir besar yang lalu. Karena kegigihannya, dan Dewan Kota yang bersangkutan mempelajari sejarah sungai-sungai besar lainnya di Amerika Serikat, maka Dewan Kota setuju membuat persiapan-persiapan. Sungai itu membelah dua kota tersebut, dan ada tiga jembatan yang menghubungkan kedua sisi kota. Sungai itu membelok pada pertengahan kota. Penjaga pintu itu tutup usia pada 93 tahun setelah banjir besar yang lalu, tetapi peringatannya dituliskan dalam papan pengumuman di tepi sungai, tepat di depan pos penjaga pintu air. Akhirnya, banjir besar itu benar-benar datang. Pemerintah kota melaksanakan langkah-langkah sesuai yang direncanakan, termasuk memarkir puluhan truk berisi pasir dan batu di jalan pada belokan sungai itu. Sebab, ternyata derasnya air telah menggerogoti tanah di bawah badan jalan hingga jalan tersebut menggelembung. Kota itu selamat! Kota-kota yang terletak 8 mil dan 12 mil di bawahnya tersapu banjir besar itu. Dengan keadaan curah hujan di Indonesia yang belum mencapai puncaknya saat ini, jadi masih mungkin ada curah hujan lebih lebat lagi, apakah tidak sebaiknya dibuka sejarah banjir besar sungai-sungai besar di Indonesia, terutama pada daerah padat penduduk? Membuka sejarah perilaku sungai-sungai besar bukanlah dongeng, tetapi dapat merupakan kenyataan. Menurut yang saya baca, sungai-sungai besar punya perilaku banjir 50 tahunan, 60 tahunan, dan seterusnya hingga banjir 100 tahunan. Ada beberapa sungai besar yang melintasi kota-kota besar. Ada pula yang dihuni sampai ke tepian air. Kiranya perlu dibuka sejarah perilaku sungai-sungai tersebut demi mengurangi akibat bencananya. Th Max Koesbagyo Wisma Permai Tengah XI/DD-6, Surabaya Post Date : 14 Februari 2006 |