|
APA boleh buat, ujicoba TPST Bojong harus berakhir rusuh. Siapa menyalahkan siapa, hingga akhirnya menjadi saling salah-menyalahkan. Jika mau dirunut, persoalan Bojong bermula ketika Pemprov DKI Jakarta yang bermitra dengan PT Wira Gulfindo Sarana mengajukan permohonan izin pengolahan sampah di Desa Bojong, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor pada Tahun 2000. Waktu itu, Pemkot Bekasi mulai memberi isyarat akan menutup tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang menyusul protes adanya pencemaran di lokasi tersebut. Benar saja. Pemkot Bekasi beserta DPRD-nya akhirnya bersepakat untuk mengakhiri kerjasama hingga akhir tahun 2001 saja. Pada tanggal 1 Maret 2001, Bupati Bogor Agus Utara Effendi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 591/31/KPTS/Huk/2001 mengenai izin lokasi pembangunan TPST Bojong. Izin itu kemudian digunakan Pemprov DKI untuk memulai kerjasama dengan PT WGS perihal pembangunan TPST di Bojong. Sebelumnya, Kantor Badan Pertanahan Nasional Bogor telah mengeluarkan pertimbangan aspek tata guna lahan tanggal 24 Januari 2001 Tanggal 12 Maret 2001, muncul surat pernyataan tidak keberatan dari warga sekitar lokasi yang ditandatangani sejumlah warga. Namun, surat pernyataan itu diragukan kebenarannya mengingat sebagian besar warga justru menolak kehadiran TPST. Sementara PT WGS mempersiapkan diri, Pemprov DKI terus merayu Pemkot Bekasi agar bisa terus memperpanjang kontrak Bantar Gebang meski harus diperbaharui setiap setahun. Akhirnya Pemkot Bekasi setuju memperpanjang kontrak sampai akhir 2002. Namun, persoalan mencuat lagi ketika Pemkot Bekasi kembali berencana menutup TPA Bantar Gebang. Jakarta pun mengalami darurat sampah. Bekasi kembali didesak untuk memperpanjang kontrak hingga akhir 2003 dan terus diperpanjang hingga akhir tahun 2004. Untuk itu, DKI harus mengeluarkan miliaran rupiah sebagai kompensasi. Bahkan, Gubernur Sutiyoso sampai membagi-bagi beberapa ekor kambing kepada warga Bantargebang. Sejak Bojong santer diberitakan akan digunakan sebagai tempat pembuangan sampah, penolakan warga makin keras. Meski demikian, PT WGS yang sudah berubah menjadi PT Wira Guna Sejahtera tetap membangun TPST. yang nantinya akan dapat menampung sampah sekitar 1.500-2.000 ton per hari. Dengan teknologi bala press dari Jerman, sampah nantinya akan diolah dan dipres hingga berbentuk kotak-kotak padat. Air lindi pun diolah sebelum dilepas ke sungai. Jika nantinya dioperasikan, warga Bogor juga dapat membuang sampah seberat 25 ton ke TPST Bojong. Tanggal 8 Mei 2003, dokumen analisis mengenai dampak lingkungan disahkan oleh Komisi Penilai Amdal Kabupaten Bogor. Mulai tanggal 30 Juni 2003, warga di sekitar lokasi mulai kerap terlibat berbagai demonstrasi menolak kehadiran TPST tersebut. Mereka kebanyakan dari Desa Bojong, Sukamaju, Singasari, Singajaya, Situsari, dan Cipecang yang berada di Kecamatan Klapanunggal, Cileungsi, dan Jonggol. Namun, PT WGS terus membangun lokasi sesuai kesepakatan dengan Pemprov DKI. Warga sendiri mempunyai alasan kuat tentang penolakan itu. Sebab, sesuai Perda Nomor 17 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Bogor, lokasi TPST itu telah diproyeksikan sebagai kawasan permukiman perkotaan. Namun, Kepala Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor Adrian Aria Kusuma, RTRW itu bukan harga mati. Tanggal 25 Juli 2003, bangunan terbuka mirip hanggar beratap asbes sudah terbangun. Dua buah mesin balas press dari Jerman pun sudah berada di sana. Lahan seluas 20 hektar itu nantinya akan dikembangkan menjadi 40 hektar. Ratusan warga kembali berdemonstrasi menolak pembangunan TPST Bojong tanggal 2 Agustus 2003 di sekitar lokasi TPST. Agustus 2003, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemkab Bogor Muhammad Sjahuri mengeluarkan pernyataan yang berisi pengakuan rasa bersalah karena telah memberi izin lokasi pembangunan TPST. Namun, nota kesepahaman itu tentu saja tidak dapat dicabut. Sejak itu, unjuk rasa warga sekitar makin intensif, mulai dari penghadangan pengiriman ban berjalan (conveyor) dan mesin bala press hingga upaya dialog dengan anggota DPRD Kabupaten Bogor. Bentrok kecil-kecilan antara warga dengan aparat Polres Bogor pun kerap terjadi. Buntutnya, aparat pun menangkapi pengunjuk rasa. Tanggal 11 Januari 2004, ribuan warga dari sepuluh desa di sekitar lokasi TPST menyegel lokasi pengolahan sampah itu. Bahkan, aksi penolakan warga itu diikuti pula oleh ratusan ibu-ibu yang mengajak anak balita mereka. Meski demikian, DKI Jakarta bergeming. Mereka tetap akan mengoperasikan TPST dengan terlebih dulu mengujicobakan. Rencana uji coba sempat tertunda dari jadwal semula tanggal 15 Agustus 2004. Ketika akhirnya uji coba akan dilaksanakan, 22 November 2004, isu penolakan sebenarnya sudah mengemuka. Tetapi uji coba tetap akan dilaksanakan. Kerusuhan pun pecah. Lima pengunjuk rasa terkena tembakan. PT WGS sendiri rugi hingga Rp 7 miliar akibat pembakaran dan pengrusakan. Kini, apakah Pemprov DKI akan terus? Ataukah mencari alternatif pembuangan di wilayahnya sendiri? Atau bahkan, membiarkan saja sampah menumpuk di rumah-rumah warga? (susi IVVaty) Post Date : 01 Desember 2004 |