|
BOGOR, (PR).-Sejak Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) di Desa Bojong, Kecamatan Klapa Nunggal, Kabupaten Bogor dibangun, sejumlah warga yang menempati areal tersebut menolak tegas projek tersebut. Akibatnya, aksi pro dan kontra diiringi demonstrasi pun mewarnai projek TPST Bojong. "Kami bukan antipembangunan, tetapi kami tidak ingin tempat tinggal kami dijadikan tempat sampah," ujar Ustaz Mizar, salah seorang tokoh warga Desa Bojong, dalam acara Dialog Publik, Kupas Tuntas Masalah Bojong di Wisma Bogor Permai, Bogor, Senin (11/4). Berbagai aksi, kata Mizar, dilakukan warga untuk menolak keberadaan TPST yang semula dikatakan sebagai pabrik keramik itu. Mereka juga meminta bantuan advokasi ke berbagai pihak, termasuk ke Walhi Jakarta. "Yang kami tahu, sampah itu bau dan sumber bibit penyakit. Kami tidak mengerti yang lain-lainnya," ujar Mizar, Dari tahun 2003 sampai sekarang, terjadi lima kali bentrokan antara warga yang menolak TPST dengan aparat kepolisian. Menurut Slamet Daroyni, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, bentrokan warga dengan aparat kepolisian itu berujung penangkapan dan penembakan warga Bojong. "Sampai saat ini, masih ada sembilan orang lagi yang masih dalam tahanan," ujarnya. TPST Bojong yang dikelola PT Wira Guna Sejahtera, lanjut Slamet telah melakukan sejumlah pelanggaran. "Keberadaan TPST ini juga tidak bermanfaat bagi masyarakat, justru hanya akan merugikan warga dari aspek apa pun," katanya. Ditinjau dari aspek hukum, TPST ini hanya berdasarkan SK Bupati No. 91/31/Kpts/2001 dan SK pimpinan DPRD Kabupaten Bogor No. 41 tahun 2002. Kedua SK ini, katanya, bertentangan dengan UU No. 27 tahun 1998 tentang rencana umum tata ruang, UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang analisa mengenai dampak lingkungan, UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, dan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. T-11-1991-03 tentang tata cara pemilihan tempat pembuangan akhir sampah. Dari aspek lingkungan hidup, lokasi projek sangat tidak tidak layak. Sebelah utara lokasi TPA hanya dibatasi jalan desa, permukiman warga dan situ (danau). Sebelah selatan berbatasan langsung dengan Sungai Cikarang, sebelah barat lahan persawahan. Lokasi TPA berada di tengah-tengah 7 desa, dan jarak antara lokasi TPA dengan permukiman warga hanya 50 meter. Laode Ida, pengamat dan pakar sosiologi yang turut hadir dalam acara itu mengatakan, konflik yang terjadi di TPST Bojong merupakan kesalahan Pemerintah Kabupaten Bogor. Menurut dia, seharusnya pemerintah tidak mengambil keputusan yang tidak memihak kepada kepentingan publik. "Pemerintah jangan asal main teken kontrak saja dengan perusahaan, tanpa melibatkan masyarakat sekitar," ujarnya. Iyang Saputra, Asisten II Pembangunan Kabupaten Bogor yang menghadiri acara dialog, mengaku rencana umum tata ruang daerah Bojong memang tidak diperuntukkan bagi lokasi tempat sampah. Berdasarkan Perda No. 27, daerah itu diperuntukkan untuk daerah permukiman warga dan pengembangan pariwisata. Ia mengatakan, alasan pemilihan lokasi tersebut, disebabkan daerah yang dijadikan lokasi TPST sekarang merupakan tanah kering bekas galian pasir. Menurut dia, berdasarkan kajian amdal yang dilakukan Pemkab Bogor, TPST di lokasi tersebut tidak akan menyebabkan pencemaran seperti yang dikhawatirkan masyarakat. Karena itu, kata Iyang, rencana uji coba TPST tetap akan dilakukan. Warga tidak akan pernah tahu manfaat dan kerugiannya, apabila tidak dilakukan uji coba dengan disaksikan pakar lingkungan. "Kita tidak akan pernah tahu, apakah sebuah kue itu manis atau pahit apabila kita tidak mencobanya," ujar Iyang. (D-26) Post Date : 12 April 2005 |