|
JAKARTA (Media): Sejak awal memorandum of understanding (MoU) dan perjanjian kerja sama (PKS) antara PDAM Jaya, Palyja, dan TPJ sudah sarat kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Buktinya, dalam berkas PKS maupun MoU, dari 18 poin dalam perjanjian itu, sebagian besar menguntungkan pihak Palyja, perusahaan Prancis, dan TPJ, perusahaan Inggris. Keduanya mitra PDAM Jaya dalam kerja sama operasi (KSO) manajemen, pengelolaan, dan operasional air minum warga Jakarta. ''Dewan tidak bisa berbuat banyak, termasuk mendesak Gubernur DKI Jaya meninjau kembali kenaikan tarif baru secara otomatis maupun pembatalan perjanjian kerja sama PDAM Jaya dengan Palyja dan TPJ,'' ujar Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Achmad Heryawan dari F-PKS kepada Media di Ruang Panitia II DPRD DKI, kemarin. Itu artinya, desakan Masyarakat Peduli Air Minum yang meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI dan DPRD DKI meninjau ulang PKS dan KSO 'Air Minum', tidak mungkin diterima. Termasuk peninjauan kenaikan tarif secara otomatis per semester sejak Januari 2005 hingga 2007. Masalahnya, PKS antara PDAM Jaya, Palyja, dan TPJ yang sejak awal MoU ditandatangani Pemprov DKI pada 1997 dan berkas KSO 1998, diduga sarat KKN. Dari posisi itu, kata Heryawan, posisi Pemprov DKI dan DPRD DKI sangat lemah bila menuntut peninjauan kembali. Ketua Komisi D DPRD DKI Sayogo Hendrosubroto kepada Media belum lama mengatakan, kerja sama itu sangat merugikan Pemprov DKI. Soalnya, setelah ada kerja sama manajemen, pengelolaan, dan sistem operasional air minum Jakarta bagian barat diserahkan menjadi tanggung jawab Palyja dan Jakarta bagian timur TPJ, eksekutif dan legislatif mengharapkan utang lama Rp910 miliar bisa dicicil. Nyatanya, utang baru muncul setelah kerja sama sebesar Rp1,4 triliun. Gubernur DKI Sutiyoso juga berkali-kali menegaskan, pihaknya tidak mungkin membatalkan PKS PDAM Jaya dengan Palyja dan TPJ. ''Kita tidak bisa berbuat apa-apa.'' Bila dilakukan pemutusan kerja sama, kata Sutiyoso, Pemprov DKI harus siap menanggung risiko berat, yaitu tuntutan investor sebagai kompensasi mengembalikan kerugian dan investasinya yang telah masuk. Dampak lain, investor internasional khawatir menanamkan dananya di Indonesia, karena begitu mudah membatalkan perjanjian. Jeleknya lagi, seperti diakui Sutiyoso, pelayanan terhadap konsumen masih jauh dari harapan, meski kehadiran Palyja dan TPJ sejak 1998. Begitu juga kontribusi ke kas daerah belum ada. Bahkan utang BUMD Pemprov DKI terus membengkak. ''Kehadiran Palyja dan TPJ belum mampu membuat kita senang. Malah keluhan dari konsumen bertumpuk seperti air kecil, siang mati, kotor, bau, warna hitam pekat, dan lain-lain,'' kata Sutiyoso. Namun, Gubernur DKI mengajak masyarakat tetap membayar tarif baru air minum. Kalau tidak dibayar sebagaimana anjuran YLKI, dia khawatir air PAM ke rumah pelanggan diputus. Bila itu terjadi, kata dia, belum tentu YLKI mau mengurus ke Palyja atau TPJ agar saluran air disambung kembali. Dalam pandangan Sutiyoso, tarif air minum di Jakarta masih lebih murah jika dibandingkan dengan Bogor, Semarang, dan Surabaya. Sebab, menggunakan sistem silang dari pelanggan masyarakat kaya ke warga kurang mampu. Menurut mantan Pangdam Jaya ini, kenaikan rata-rata 9,49% tarif baru air minum di Jakarta, terkait dengan kebijakan Pemprov DKI selama tiga tahun (1998-2001) tidak menaikkan tarif akibat Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya terkena imbas krisis moneter. (Ssr/J-1) Post Date : 07 Juli 2005 |