Segala Cara untuk Mengurangi Emisi

Sumber:Kompas - 31 Juli 2009
Kategori:Lingkungan

Mungkin Pemerintah Denmark kali ini ingin ”pamer”. Betapa proses pembangunan dengan pendekatan pengurangan emisi karbon bukan berarti keterpurukan ekonomi. Buktinya, ekspor teknologi bersih justru terus membubung dan pada tahun 2007 mencapai sekitar 65 miliar krone Denmark —atau sekitar Rp 910 triliun menurut Kementerian Luar Negeri— mengalahkan nilai ekspor sektor-sektor lain yang total sekitar 558,1 miliar krone Denmark (sekitar Rp 7.812 triliun).

Panggung Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) mendatang merupakan ajang tepat untuk menunjukkan kepada lebih dari 190 negara di dunia, baik kaya maupun miskin, apa sebenarnya ide pembangunan berbasis teknologi bersih.

Denmark yang pada tahun 1970-an berjaya dalam industri perkapalan dan industri berat secara perlahan namun pasti mulai meninggalkan itu semua. Upaya untuk tidak bergantung pada bahan bakar fosil telah membawa Denmark melakukan perubahan kebijakan secara drastis.

Wartawan harian Politiken, Flemming Ytzen, dalam perbincangan dengan Kompas, awal Juni lalu di Kopenhagen, Denmark, mengatakan, ”Perhelatan COP-15 amat berarti bagi Denmark. Sebab, selama ini Denmark nyaris tenggelam dalam bayang-bayang Jerman dan Swiss karena Denmark posisinya terpencil di utara,” ujarnya.

Jika dilihat secara lebih dekat, apa yang dilakukan Denmark bisa membuat kita ternganga karena langkah Pemerintah Denmark pada tahun 1970-an bisa dikatakan bagai sebuah ”revolusi pembangunan” atau ”revolusi energi”. Ini sungguh amat berbeda dari Indonesia yang meski bencana mengancam dari sana-sini akibat kerusakan lingkungan yang amat parah, semuanya tetap berlangsung ”business as usual”. Perubahan seakan menjadi sebuah momok.

Perlahan, sebagian besar pabrik mulai dipindahkan ke luar negeri demi mengurangi polusi udara. ”Banyak pabrik, seperti pabrik tekstil dan pabrik sepatu, mulai dipindahkan ke luar negeri, seperti ke China dan beberapa negara Asia lainnya,” tutur Ytzen yang lama bermukim di beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Pekerjaan yang semula sebagai buruh pabrik berpindah ke industri energi terbarukan. Ketika isu perubahan iklim menjadi isu utama dunia, Denmark tidak menemui kesulitan karena telah berada di jalur yang benar. Namun, untuk mempertegas posisinya, pemerintah mengajak masyarakat untuk bersama-sama menghadapi tantangan perubahan iklim.

Warga Denmark mau tidak mau harus tunduk pada kebijakan baru tersebut. ”Pada awalnya, ketika harus melakukan pengetatan konsumsi energi pada tahun 1970-an itu, masyarakat banyak protes. Itu berlangsung sekitar satu-dua tahun,” tutur Claus Hermansen dari Kementerian Luar Negeri. Namun, lanjutnya, ketika beberapa saat kemudian masyarakat mulai merasakan manfaatnya, gelombang protes pun reda.

Mewujudkan mimpi menjadi negara hijau tersebut, Denmark yang pajaknya bisa mencapai 70 persen dari pendapatan individu itu dengan berani mulai menginvestasikan dana pembangunannya untuk membangun pembangkit listrik dengan energi kombinasi, memaksa pemerintah lokal mendirikan perusahaan pengolah sampah, antara lain Vestforbr?nding yang mengolah sampah dan selanjutnya dari hasil pengolahan sampah tersebut menyuplai pemanas untuk perumahan.

Menurut Søren Skov, pejabat humas Vestforbr?nding, perusahaan tersebut sekarang sudah menjadi perusahaan masyarakat. Masalah sampah teratasi, sementara laba pun diraup. Sementara proses sampah dengan insinerator pun telah zero emission—tidak mengeluarkan emisi.

Berbagai upaya mitigasi

Setidaknya, Denmark dapat dijadikan contoh untuk melakukan mitigasi dan beberapa program adaptasi dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Hampir semua teknologi dan sistem dijalankan Denmark untuk mengurangi emisi karbonnya.

Soal pembuatan teknologi beremisi rendah, sudah beberapa contoh dikemukakan, antara lain sistem insulasi, sistem kombinasi pembangkit listrik dan pemanas, serta energi angin.

Untuk mengurangi emisi karbon yang telah terlepas, Denmark juga berada di garda depan untuk teknologi carbon capture and storage (CCS) yang intinya adalah menangkap emisi karbon dan menyimpannya di bawah permukaan tanah.

Denmark dalam Climate Solutions Denmark menyatakan bahwa perusahaan Vattenfall akan melakukan pendekatan untuk pembangunan CCS di Northern Jutland, utara Kopenhagen. Menurut sejumlah ahli geologi, kawasan Jutland merupakan tempat yang ideal untuk pembangunan CCS. Tentang CCS, masih banyak pihak tidak sepakat karena dikhawatirkan kebocoran yang akan mengakibatkan katastropi.

Selain CCS, energi angin di Denmark telah mencapai tahapan amat maju. Saat ini energi angin telah berhasil beberapa jam dalam setahun mampu menghasilkan listrik. Pulau Samsoe, sekitar empat jam menyeberang dari Kopenhagen, kini menjadi satu-satunya pulau di dunia yang sama sekali tidak lagi menggunakan bahan bakar fosil. Mereka membangun industri wind turbine, setidaknya satu wind turbine membutuhkan tenaga pekerja sekitar 13 orang.

Denmark juga menjadi rumah dari pabrik enzim terkemuka di dunia, Novozymes, yang memproduksi enzim yang jika digunakan, dapat dilakukan penghematan air. Novozymes telah merambah lebih dari 130 negara dan lebih dari 50 persen pasar dunia yang ditangani.

Semua langkah untuk menghadapi ancaman perubahan iklim telah dijalankan Denmark. Dan, kini Denmark telah mengecap manisnya buah hasil ”revolusi pembangunannya”. Namun, di sana ada suara sumbang yang masih terdengar dari kalangan organisasi nonpemerintah. Tokoh Greenpeace Denmark, Tarjei Haaland, dalam Monday Morning, dikutip mempertanyakan bahwa Connie Hedegaard, Menteri Lingkungan dan Energi Denmark, saat ini sedang ”membual” soal pengurangan emisi karbon Denmark.

Haaland menuntut agar perusahaan transportasi kapal juga dihitung emisinya agar semua terlihat lebih jelas dan benar. Saat ini emisi dari armada laut jasa angkutan Maersk secara global nyaris sama jumlahnya dengan emisi karbon seluruh negeri Denmark. Tak ada satu pun negara di dunia yang memiliki armada jasa angkutan laut sebesar Denmark dengan Maersk-nya. Itulah yang seharusnya kini menjadi pekerjaan rumah Connie— yang dikenal amat kritis terhadap sesama negara Uni Eropa. (Brigitta Isworo Laksmi)



Post Date : 31 Juli 2009