|
PENANGANAN banjir di Ibu Kota berjalan seperti menonton siaran lawas yang membosankan. Para pejabat repot setelah rakyat tergenang. Selalu begitu. Meskipun tahun ini ada episode berbeda. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjalan kaki ke Istana Merdeka karena mobilnya dihadang banjir. Wakil Presiden Jusuf Kalla berputar-putar di angkasa ditemani Gubernur Jakarta Fauzi Bowo mengamati Jakarta dari helikopter. Presiden sampai perlu memimpin rapat di Balai Kota DKI untuk memberikan arahan kepada Gubernur DKI. Selebihnya idem ditto. Rumah warga Jakarta terbenam hingga di atas satu meter. Penghuninya berlarian menyelamatkan nyawa dan sekadar harta yang bisa dibawa. Kondisi Jakarta bahkan lebih mengerikan tahun ini. Air meluap cepat karena drainase kian mampet. Sungai-sungai di tengah kota, yang alih-alih dikeruk, semakin dangkal. Kamera televisi menyorot kian-kemari, merekam gambar para pejabat tinggi, termasuk Gubernur Fauzi yang menegaskan pernyataan tentang reaksi cepat dan penanganan darurat segera. Segera! Ya, kata itu kian terasa sebagai jargon kosong di kuping warga yang kelelahan bertarung dengan air. Yang paling mereka perlukan saat ini bukan pernyataan, tapi langkah konkret. Rapat-rapat para pejabat sebaiknya ditunda dulu agar waktu bekerja di lapangan bisa lebih banyak. Solusi yang telah diputuskan pada tahun-tahun lalu dapat digegaskan: pelebaran kanal, pengedukan lumpur sungai, normalisasi situ, sumur resapan di halaman semua bangunan. Warga pasti tidak menuntut semua alternatif solusi dipenuhi sekaligus. Yang diminta cuma hak minimal sebagai warga Jakarta dan pembayar pajak: agar kota ini layak dihuni sepanjang tahun. Tapi penyelesaian soal banjir seolah jalan di tempat padahal gubernur datang dan pergi. Kota raya ini sekarang memiliki seorang pemimpin. Dia doktor tata ruang lulusan Eropa yang kenyang pengalaman. Memang tak semua beban banjir harus dipikul doktor yang baru duduk di kursinya itu. Tapi Fauzi, doktor itu, mesti memotong waktu tidurnya untuk memikirkan 140 titik Ibu Kota yang sekarang terendam walaupun hujan baru dua jam datang. Tanpa banjir kiriman pun Jakarta sudah menderita. Gubernur Fauzi Bowo dipercaya melakukan pelbagai usaha. Pasti sejumlah program telah dia rancang. Dia tak boleh bekerja di belakang kejadian: banjir datang baru rapat digelar, program ditinjau, anggaran dibahas, sukarelawan dikontak. Kesibukan setelah kejadian itu terlihat hingga tahun ini. Di beberapa wilayah, antara lain di Kedoya Selatan, penanganan darurat selalu dilakukan swadaya oleh warga, paling sedikit dalam lima tahun terakhir. Jakarta perlu perubahan pandangan yang radikal terhadap fungsi wilayah resapan, waduk, pantai, dan sungai. Bukan rahasia lagi, penanganan tata ruang Jakarta amburadul. Dalam salah satu investigasi, majalah ini menemukan ruang untuk jalur hijau Jakarta yang seharusnya 30 persen kini tinggal 12 persen. Sisanya beralih fungsi menjadi bangunan dan gedung bertingkat. Siapa yang mengeluarkan izin? Tentu saja Pemerintah DKI Jaya. Gubernur Fauzi dapat mengawali suatu langkah konkret yang baru. Dia punya latar belakang keahlian yang membuatnya sangat paham mengapa kebijakan drastis diperlukan untuk membenahi kota raya yang dia pimpin sejak tahun lalu. Dengan otoritas penuh dari rakyat yang memilihnya, Fauzi tidak boleh bertindak tanggung-tanggung. Dia mesti lebih berani dari apa yang dia tunjukkan sekarang. Post Date : 11 Februari 2008 |