|
BAGI pelanggan PAM Jaya, air berwarna hitam, berbau, atau malah tidak mengucur sama sekali, adalah masalah yang klise. Nyaris semua pelanggan pernah mengalaminya. Tak heran jika sebagian justru menyesal telah ikut menjadi pelanggannya. Salah satunya adalah Dwita Christina, seorang wartawati yang tinggal di rumah susun Bidara Cina, Jakarta Timur. Seperti penghuni rumah susun lainnya, ia merasa wajar jika waktu mendapatkan air dijatah berdasarkan jam-jam tertentu. Namun, yang dirasanya cukup menyebalkan adalah kualitas air tersebut. "Sudah dijatah jam-jaman, eh airnya sering banget kotor. Saya baru bisa mengisi air di kamar mandi pada pagi hari sekitar jam 06.00-09.00 WIB dan sore hari, sekitar jam 18.00-19.00 WIB. Jadi, rasanya menderita banget kalau sudah menunggu sekian lama, eh air yang keluar malah kotor," katanya. Bahkan, menurut kisah para tetangganya, masalah tersebut sangatlah lumrah. Dulu, sebelum Dwita pindah ke permukiman tersebut, air PAM pernah mogok mengucur hingga empat hari lamanya. Karena itu, banyak tetangga Dwita yang memasang tangki air besar untuk menampung air hujan, sebagai antisipasi kalau-kalau air PAM kembali mogok. Sementara kiat yang dilakukan Dwita lebih sederhana. Ia memilih untuk menyediakan ember banyak-banyak sebagai antisipasi menunggu datangnya air PAM. "Jadi, saat air keluar, saya buru-buru menyalakan kran kamar mandi dan mengisi semua bak yang ada. Jadi memang terkesan aji mumpung sih, tapi lebih baik begini daripada repot jika air benar-benar tidak ada. Bahkan, sebelum tidur, semua keran air saya buka, sehingga saat air nyala, ember saya akan terisi dengan otomatis," akunya. Mimpi Buruk Sementara, bagi Etty Suryawati, awalnya air PAM diharapkan sebagai jawaban untuk mendapatkan air berkualitas. Ibu rumahtangga ini sebelumnya menggunakan air tanah sebagai kebutuhan sehari-hari. Tiga tahun lalu, jaringan PAM masuk di kawasan rumahnya di Kompleks Masnaga Bintara Jaya, Bekasi Barat. Saat itu, Etty mengaku senang karena berharap akan mendapatkan air yang lebih bagus kualitasnya ketimbang air tanah yang digunakannya sehari-hari. Namun, harapannya justru berubah menjadi mimpi buruk. "Ternyata, air PAM malah lebih jelek daripada air tanah. Airnya sering berwarna hitam atau cokelat berpasir. Akhirnya, saya balik lagi memakai air tanah untuk kebutuhan sehari-hari. Air PAM hanya digunakan untuk menyiram tanaman saja," tutur Etty. Hal ini tak hanya dilakukan Etty saja. Hampir semua tetangganya di kawasan perumahan tersebut juga melakukan yang sama. Mereka awalnya berharap air PAM bisa memberikan mereka air yang berkualitas. Nyatanya, sama sekali berbeda. Akhirnya, seperti Etty, jaringan PAM jarang mereka gunakan dan mereka memilih kembali menggunakan air tanah. "Dulu, saya pernah menggunakan air PAM untuk mencuci baju. Wah, baju putih berubah jadi berwarna cokelat. Kamar mandi pun begitu. Kalau saya mengisi bak mandi dengan air PAM, hasilnya kamar mandi saya jadi terlihat dekil. Karena PAM jarang dipakai, saya paling-paling hanya membayar 21.000/bulan," lanjut Etty. Masalah yang sama juga dikeluhkan Petty, warga Cililitan, Jakarta Timur. Begitu jaringan PAM masuk ke daerah rumahnya, ia langsung mendaftar jadi pelanggan dan mematikan pompa air yang digunakan untuk menyedot air tanah. Ternyata, kualitas air PAM yang dibayarnya justru jauh lebih buruk daripada air tanah yang dulu digunakannya. "Kadang-kadang airnya mogok. Hanya di malam hari saja ada. Siang malah enggak keluar sama sekali. Airnya memang jernih, tidak kotor, tapi bau dan rasa kaporitnya tajam sekali. Sekarang, saya jadi menyesal deh, kenapa dulu memutuskan menjual pompa air saya," tutur Petty. (D-10) Post Date : 15 Desember 2005 |