|
Bandung, Kompas - Mengolah sampah di rumah merupakan pekerjaan sederhana. Hal ini diyakini beberapa orangtua yang hadir dalam acara pendidikan lingkungan yang diselenggarakan Sanggar Kreativitas dan Pencinta Lingkungan Semanggi di Taman Hutan Raya Ir H Juanda, Bandung, Minggu (13/3). Sementara anak-anak mengamati lingkungan di hutan tersebut, para orangtua berkumpul untuk mendengarkan penjelasan tentang pengolahan sampah di rumah yang disampaikan Dr Ir Tualuar Simarmata MS dari Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung. Tualuar menerangkan tentang bagaimana mengolah sampah menjadi kompos dengan menggunakan bioreaktor mini skala rumah tangga. Bioreaktor terbuat dari drum plastik ukuran 60 liter. Bagian bawah gentong dilubangi hingga setinggi sekitar 15 sentimeter. Di dalam drum diletakkan piring plastik yang sudah dilubangi. Diameter piring sama dengan diameter drum. Paralon ditegakkan di dalam drum, tingginya sama dengan drum. Cara menggunakannya, sampah organik seperti sayuran, kulit buah, atau nasi dimasukkan ke dalam drum, lalu diaduk dengan mikroba dan dedak atau bubuk kayu hasil gergaji. Basahi sampah setiap ada sampah baru masuk, lalu aduk. "Keadaan basah harus cukup. Cukup, yaitu kalau diambil tidak ada air yang menetes dari sampah. Air dari sampah hanya menetes jika sampah ditekan," kata Tualuar. Sampah disimpan selama 10 hingga 21 hari. Jika kompos sudah matang, masukkan ke karung selama seminggu untung pemantapan. "Setelah itu, baru boleh digunakan untuk tanaman," kata Tualuar. Tualuar menambahkan, mikroba bisa dibeli di toko-toko kimia dengan harga Rp 12.000 per kantong. Satu kantong mikroba bisa digunakan untuk dua bulan. "Mudah juga, ya. Rasanya saya mau mencoba untuk melakukannya di rumah," kata Yanti (35), orangtua anak-anak yang datang ke Taman Hutan Raya Ir H Juanda. Meskipun Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Leuwigajah ditutup, menurut Yanti, hal tersebut tidak memengaruhi kondisi sampah di lingkungannya. "Setiap hari sampah diangkut karena dari rumah saya di Rancaekek, sampah dibuang ke TPA di Garut. Tapi siapa tahu nanti terjadi lagi susahnya mencari TPA, keluarga saya sudah bisa mengurangi sampah, sekaligus mengajarkan kepada anak-anak," ujar Yanti yang sudah terbiasa memisahkan sampah basah dan sampah kering di rumahnya. Orangtua lainnya, Liana Juliana (40) yang tinggal di Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, pernah merasakan saat sampah di rumahnya tidak diangkut setelah tragedi longsor di TPA Leuwigajah. Meskipun sekarang pengangkutan sudah berjalan lancar, Liana berniat membuat kompos dari sampahnya di rumah. Mohammad Rachman, Kepala Sub-Bidang Kemitraan, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat, menyambut baik sosialisasi pengelolaan sampah skala rumah tangga yang sederhana ini. "Ini ide sederhana dan cukup berpengaruh untuk mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA jika tiap keluarga sadar untuk mengelola sampah sejak di rumah," katanya. Rachman mengatakan, pembuatan kompos bisa dilakukan secara kolektif per wilayah tempat tinggal sehingga bisa mendapatkan subsidi. Sudah sekitar tiga tahun Indonesia mendapat bantuan Bank Dunia untuk memberikan subsidi kepada produsen kompos. Namun, banyak syarat yang harus dipenuhi. (Y09) Post Date : 14 Maret 2005 |