Seusai ”drama dunia” selama nyaris 24 jam di Kopenhagen, Denmark, Robert Bailey, juru bicara senior dari Oxfam International, bertutur, ”Sungguh memalukan, setelah dua tahun perjuangan dengan air mata dan darah, kita tak bisa menyelesaikan maraton ini dengan tepat waktu.”
Drama dunia, berupa Konferensi Perubahan Iklim PBB yang berhasil mengumpulkan sekitar 20.000 orang dengan 113 kepala negara/pemerintahan tersebut, dinilai gagal. Konferensi yang seharusnya berakhir pada 18 Desember mundur hingga 19 Desember 2009.
Bailey melanjutkan bicaranya. ”Para pemimpin dunia memiliki kesempatan menghasilkan keputusan yang adil, ambisius, dan mengikat. Keputusan seperti itu yang dibutuhkan dunia saat ini. Namun, kesepakatan tersebut telah gagal, keadilan menghilang dari atas meja, dan ambisi telah digelontor pergi.” Sabtu (19/12) dini hari semua harapan akan ada kesepakatan yang mengikat secara hukum (legally binding) telah lenyap.
Mereka sebenarnya sedang membicarakan nasib jutaan hingga miliaran manusia yang tak akan bisa menghindar dari bencana demi bencana yang kian sering dan masif. Lihat mereka yang hidup di Kiribati, Tuvalu, Maladewa, dan pulau kecil lainnya.
Keniscayaan
Bumi pada dirinya sudah mengandung perubahan. Ketika bumi berinteraksi dengan matahari, dengan galaksi, dan alam semesta, dan semua selalu membawa perubahan secara fisik yang berpengaruh pada temperatur bumi, iklim, dan bermuara pada kesejahteraan manusia. Di sana terlibat ketersediaan pangan, keamanan dari adanya bencana alam dan sebagainya.
Pekan lalu, ketika semua sepakat akan ancaman pemanasan global, ternyata tak semua yang hadir serius memikirkan hal yang sama. Tak semua berpikiran bahwa yang dibicarakan adalah masa depan manusia. Dan di meja-meja perundingan tersebut justru didemonstrasikan ketidakadilan, sikap tidak demokratis, dan sikap arogan sejumlah negara. Bisa ditebak, mereka adalah negara-negara yang merasa telah menguasai dunia. Mereka menguasai dunia dengan menguasai sumber daya energi dan teknologi.
Simak apa yang terjadi pada saat-saat terakhir perundingan, pada perpanjangan waktu, Jumat (18/12) lalu.
Menginjak yang miskin
Persetujuan Kopenhagen dituding ”yang terburuk sepanjang sejarah”. Lumumba Stanislas Dia-ping dari Sudan yang memimpin kelompok G-77 plus China—beranggotakan 133 negara—menuding Amerika Serikat dan Denmark telah menginjak-injak hak-hak negara miskin. ”Kami dikunci dalam lingkaran kemiskinan,” ujarnya.
Tuvalu, sebuah negara yang terancam tenggelam, perwakilannya menyatakan, ”Hari ini saya menyaksikan praktik di mana pemimpin tidak menghormati negara lain. Kami menghendaki pembatasan kenaikan suhu rata-rata 1,5 derajat celsius. Kenaikan di atas itu berarti kami tamat,” ujar perwakilan Tuvalu.
Di sisi lain, dari laporan yang dituliskan Kyodo, Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama dengan tegas menolak permintaan Sekretaris Jenderal Ban Ki-moon untuk bertindak sesuatu. Jepang diminta mengambil tindakan sesuai dengan target pengurangan emisinya, 25 persen tanpa syarat. Pemerintah Tokyo dengan enaknya mengatakan, mereka butuh kerangka kerja internasional yang menjamin pihak lain juga melakukan hal yang sama.
”Penting untuk meminta negara lain melakukan hal yang sama,” ujar Hatoyama. Hal senada dilakukan negara-negara maju lainnya.
Semua berjanji akan membereskan persoalan pada tahun 2010. Siapa yang menjamin itu bisa terwujud? Bahkan, janji bantuan dana 100 miliar dollar untuk negara berkembang. Siapa menjamin negara maju akan memberikannya? Ketika sekarang pun target sesuai Protokol Kyoto untuk menurunkan emisi 5,2 persen pun belum tercapai, bahkan sebaliknya emisi secara agregat negara maju sebenarnya malah bertambah. Siapa menjamin? Brigitta Isworo L
Post Date : 22 Desember 2009
|