|
Seperti masyarakat Giricahyo di Purwosari, Gunung Kidul, yang memiliki jaringan perpipaan untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih, demikian Kampung Code. Bedanya, sumber di Giricahyo berasal dari goa vertikal Plawan yang berkedalaman sekitar 100 meter, sedangkan di Code dari mata air di sisi tanggul. Perbedaan lainnya, bila air di Giricahyo baru berhasil diangkat sekitar satu tahun terakhir, maka Code jauh lebih dulu. Wilayah Giricahyo berupa pegunungan karst dengan wilayah relatif kering, sedangkan Code lebih basah dengan air sungai yang selalu mengalir. Terakhir, Giricahyo berada di daerah terpencil, sedangkan Code berada di tengah kota. Meskipun berbeda, keduanya memiliki prinsip pengelolaan yang hampir sama, yakni dilakukan sendiri oleh masyarakat. Di Giricahyo dikenal dengan Organisasi Pengelolaan Air Mandiri (OKAM), sedangkan di Code adalah Tirta Kencana. "Saat ini ada 135 warga yang tercukupi. Padahal, 10 tahun lalu tepatnya 1998-1999 hanya ada 23 pelanggan," ungkap Subadi (43), pengelola Tirta Kencana, beberapa waktu lalu. Sejauh ini ada enam titik mata air di Code yang keluar dari tanggul atau oleh masyarakat setempat disebut tebing. Mata air berada di sisi timur sungai, tepatnya masuk wilayah Kelurahan Terban, Gondomanan. Namun, dalam perkembangannya justru masyarakat Jetisharjo atau Code utara di sisi barat sungai yang paling banyak merasakannya. Menurut Subadi, wilayah Terban cukup tinggi sehingga air sulit dialirkan. Kondisi ini berbeda dengan Jetisharjo yang permukaannya lebih rendah. Air hanya perlu dinaikkan ke penampungan tertinggi, setelah itu mengalir ke warga dengan menggunakan prinsip grafitasi. Ada dua RW di Jetisharjo yang merasakan segarnya air, yakni RW 6 dan 7, dengan jumlah sambungan masing-masing sekitar 25 dan 110 rumah. Di RW 6 terdapat dua sumber, sedangkan di RT 7 ada empat. "Kedua sumber di RW 6 hanya dipakai untuk mencuci, sedangkan di RW 7 sudah digunakan untuk minum," ujar Subadi. Meskipun memperoleh dari alam, warga ternyata tidak meninggalkan air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Keduanya dipakai dan saling mendukung. Pemanfaatan air PDAM dilakukan apabila terjadi kerusakan pompa atau kondisi listrik padam. Penggunaan sumber air Code lebih kepada mengoptimalkan potensi alam yang ada. Apalagi, air dari sumber memiliki perbedaan dengan air PDAM. Selain lebih jernih, menurut warga, pemanfaatan sumber air lebih membawa dampak ekonomis. Maklum, untuk volume 15-30 meter kubik, hanya dikenai biaya Rp 24.000. Sedangkan PDAM mencapai 34.000. Tentu saja dana yang terkumpul dari masyarakat akan dipakai untuk biaya perawatan. "E coli" Meskipun lebih bersih dari PDAM, air yang keluar dari mata air Code ternyata masih mengandung bakteri Escherichia coli (E coli). Untuk mengatasinya, dilakukan treatment berupa penambahan clorin cair sebelum air dialirkan ke masyarakat. "Kandungan E colinya memang masih di atas ambang batas. Oleh karena itu, kami menggunakan disinfektan di rumah pompa," kata Totok Pratopo dari Paguyuban Masyarakat Code Utara. Setiap tahun, lanjut Totok, selalu dilakukan pengujian kandungan air. Ini dimaksudkan untuk menjaga kualitas serta mengetahui perkembangan terkini mengenai zat apa saja yang ada di dalamnya. Sudah menjadi rahasia umum apabila selama ini kondisi air tanah di Yogyakarta banyak mengandung E coli. Meskipun demikian, Ketua RW 6 Martono (62) mengemukakan, jumlah masyarakat yang ingin merasakan air makin bertambah. Setelah RW 6 dan 7, warga di RW 8 atau di sebelah selatan jembatan Dr Sardjito juga berharap mendapatkan kucuran. Gerakan dari pinggir Sungai Code semacam ini layak ditiru oleh masyarakat lain. Memanfaatkan sumber air secara swadaya, mandiri, dan lestari merupakan langkah penting di tengah krisis lingkungan seperti saat ini. (WER) Post Date : 09 Juni 2008 |