|
Rob di pantai utara Jakarta dan banjir di beberapa daerah aliran sungai yang melintasinya dalam minggu-minggu terakhir adalah lampu kuning akan ancaman tergenangnya sebagian wilayah ibu kota negeri ini secara permanen dalam 10 hingga 40 tahun mendatang. Banjir yang melanda sebagian wilayah Pondok Labu, Jakarta Selatan, akhir Oktober lalu, belum surut juga hingga awal Desember ini. Warga di beberapa wilayah Jakarta Utara, antara lain di Penjaringan, pun mengalami nasib yang sama, mengalami rob atau genangan air laut dalam waktu relatif lama. Bencana ini muncul sebelum terjadi puncak hujan pada Januari mendatang. Karena itu, lalu timbul pertanyaan, apa yang sesungguhnya terjadi? Melihat bencana hidrologis yang terjadi itu, para pakar menemukan beberapa penyebab, antara lain rusaknya banyak daerah aliran sungai (DAS) di Jakarta, penurunan daratan di pesisir akibat eksploitasi berlebih air tanah, serta curah hujan yang cenderung meningkat. Kondisi ini ditambah dengan kenaikan paras laut akibat perubahan iklim. Tanpa upaya perbaikan dan langkah antisipatif, masalah lingkungan ini akan makin parah, hingga lambat tetapi pasti akan menenggelamkan sebagian wilayah kota metropolitan ini. Permukaan tanah turun Turunnya permukaan tanah di pantai utara mengakibatkan terjadinya daerah genangan yang kian meluas. Kondisi ini disebabkan meningkatnya beban permukaan tanah akibat pembangunan pesat gedung-gedung dan kawasan permukiman yang dibarengi pengambilan air tanah dangkal dan dalam secara berlebihan. Pakar oseanografi di Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut Institut Teknologi Bandung (ITB), Safwan Hadi, menyebutkan, daerah pantai utara (pantura) Jakarta dapat terendam secara permanen karena kenaikan muka laut akibat pemanasan global serta penurunan atau subsidensi permukaan tanah. Penelitian yang dilakukan Safwan dan timnya dari Pusat Studi Oseanografi ITB menemukan, dari 1925 hingga 2003, kenaikan muka laut di Jakarta rata-rata 0,57 sentimeter per tahun. Dari pengukuran itu dan data satelit altimetri, diperkirakan kenaikan akan mencapai 50 cm sampai tahun 2100. Rendaman meluas Wilayah yang terendam rob di Jakarta Utara semakin luas jika pada masa bersamaan terjadi pasang laut dan anomali cuaca, seperti storm surge atau gelombang alun, seperti yang terjadi pada 27 November 2007. Tahun ini, ancaman itu diperkirakan akan muncul lagi, dikaitkan dengan pola banjir lima tahunan. Simulasi model numerik yang dilakukan Safwan Hadi berdasarkan data tahun 2007 itu menunjukkan rob melanda empat kecamatan di Jakarta Utara, yaitu Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, dan Cilincing. Saat itu, Pademangan dan Penjaringan yang berupa teluk mengalami dampak terparah. Daerah yang tergenang masing-masing sejauh 5,2 km dan 6,1 km dari garis pantai. Berdasarkan anomali cuaca itu dan kenaikan muka laut sekitar 1 sentimeter per tahun akibat pemanasan global, Safwan Hadi membuat simulasi genangan laut di Teluk Jakarta untuk setiap dasawarsa hingga tahun 2050. Dalam simulasi ada enam daerah yang terancam genangan, meliputi Penjaringan, Pademangan, Cilincing, Ancol, Pluit, dan Kamal Muara. Kondisi genangan itu belum memperhitungkan adanya subsidensi permukaan tanah, yang teramati oleh Hasanuddin Z Abidin dan timnya dari Kelompok Keilmuan Geodesi ITB. Interpolasi data pengamatan penurunan muka tanah di 23 titik di Jakarta yang mereka lakukan hingga tahun 2007 menunjukkan, sebagian besar kawasan barat hingga utara Jakarta turun 5 cm hingga 12 cm. Wilayah tengah dan timur menurun 5 cm, sedangkan subsiden di timur laut dan selatan 2 cm hingga 4 cm. Berdasarkan data Dinas Pengembangan DKI Jakarta, pada periode 1982 hingga 1997 terjadi amblesan tanah di kawasan pusat mencapai 60 hingga 80 cm. Penurunan itu berkorelasi dengan eksploitasi air tanah. Di kawasan tengah Jakarta, tepatnya di sekitar Gedung Jaya serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, terjadi penurunan permukaan air tanah dalam mencapai 2,27 meter dalam kurun waktu 2001 hingga 2004. Kondisi DAS Kerusakan DAS di Jakarta telah terpantau sejak lama. ”Data perubahan penggunaan lahan pada tahun 2005 menunjukkan, Jakarta nyaris kehilangan kawasan resapan air, ruang terbuka hijau, dan situ,” ungkap pakar hidrologi dari BPPT, Sutopo Purwo Nugroho, yang diperbantukan di Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Intensitas pemanfaatan ruang di Jakarta mencapai 90,33 persen dan hanya menyisakan kawasan hijau 8,11 persen. Kondisi yang nyaris sama terjadi di kawasan hulu atau daerah penyangga di sekitarnya. Kawasan hijau di Bekasi dan Tangerang sekitar 14 persen, Depok 19 persen, dan Bogor tinggal 24 hingga 32 persen. Rendahnya tutupan vegetasi di hulu itu berdampak erosi hingga sedimentasi di hilir DAS, yaitu di Jakarta, maka pendangkalan dan penciutan sungai pun terjadi. Daerah bebas di bantaran sungai di hilir pun kemudian juga berubah fungsi menjadi kawasan permukiman. Akibatnya, ketika hujan, sebagian besar mengalir ke hilir, sedikit yang meresap ke tanah lewat perakaran pepohonan. Di Bogor, volume air hujan yang mengalir di DAS atau run off 68-70 persen, hanya 19-22 persen yang meresap ke dalam tanah. Kondisi lebih buruk dialami Jakarta, yaitu run off 81 persen dan resapan air hujan hanya 7 persen. Sistem drainase yang buruk menyebabkan banjir tak juga reda. Di Kali Krurut, daya tampungnya hanya tinggal 37 persen. Ini terkait dengan penyempitan sungai dari 15 meter menjadi 2 meter. Melihat masalah hidrologi tersebut, tampaknya perlu pembenahan total tata ruang wilayah, bukan hanya di Jakarta, melainkan juga Botabek. Jika tidak, sebagian wilayah Jakarta bisa menjadi ”Venesia”, tetapi tanpa keindahan.... YUNI IKAWATI Post Date : 05 Desember 2011 |