|
PEMANFAATAN sekitar 6.000 ton sampah warga DKI Jakarta yang setiap harinya dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) Bantar Gebang, Bekasi, menjadi produk yang lebih bernilai ekonomis hingga kini masih minim. Padahal, sampah sebenarnya memiliki potensi ekonomi cukup tinggi dan memberikan peluang usaha jika sampah diolah menjadi barang daur ulang atau pupuk organik. Keprihatinan akan gunungan sampah di TPA Bantar Gebang yang belum dilirik sebagai potensi ekonomi itulah yang mendorong PT Godang Tua Jaya Farming mendirikan pabrik kompos di lahan seluas 13 hektar. Lokasinya masih di sekitar TPA, tepatnya di Desa Ciketing Udik. Saat ini, memang baru sampah dari Pasar Kramat Jati-sekitar 300 ton sehari-yang diolah menjadi 50 ton kompos setiap hari. Untuk itu, sejak bulan Juli lalu truk-truk pengangkut sampah dari Pasar Kramat Jati tidak lagi masuk ke zona-zona pembuangan yang masih aktif, melainkan menuju sebuah bangunan terbuka berfondasikan bambu-bambu yang hanya ditutupi atap pada bagian atasnya. Di tempat ini, tumpukan sampah yang ditinggalkan para sopir truk langsung dirapikan para pekerja pria untuk kemudian dipindahkan ke conveyor atau mesin sortir berjalan. Selanjutnya, dengan cekatan para pekerja perempuan yang berdiri di sisi conveyor memilah-milah sampah. Kayu, kerikil, dan plastik harus disingkirkan agar tidak masuk mesin penghancur. Setelah dihancurkan, sampah organik yang itu kemudian ditumpuk dan siap diproses menjadi kompos. Agar proses pengomposan berjalan cepat, tumpukan sampah yang sudah halus itu disiram bioaktivator. Hanya dalam satu minggu, sebenarnya proses pembuatan kompos itu sudah selesai. Pekerjaan selanjutnya adalah pengepakan untuk pemasaran. "Supaya terlihat bagus, kompos yang masih kasar disaring lagi sehingga halus. Lalu dikemas masing-masing 40 kilogram. Untuk menambah nilai jual, kompos juga kami tambah bahan-bahan tertentu sehingga kualitasnya lebih baik daripada kompos asli," kata Direktur PT Godang Jaya Tua Farming Douglas J Manurung. Kompos made in Bantar Gebang yang diberi merek Green Botan itu, kata Manurung, biasa digunakan di perkebunan kelapa sawit atau untuk rehabilitasi lahan kritis. Harganya, Rp 400 per kg, sedangkan yang dicampur dengan bahan lain dijual Rp 2.000 per kg. Untuk mendapatkan pasokan sampah basah sebagai bahan dasar kompos secara kontinu, sudah dibuat nota kesepahaman dengan Dinas Kebersihan DKI selama satu tahun. Bentuknya ya pasokan 300 ton sampah per hari dari Pasar Kramat Jati itu. Kenapa hanya 300 ton? Manurung mengaku mengalami keterbatasan modal. "Kami tidak sanggup mengolahnya jika harus memodali sendiri," kata alumnus Institut Pertanian Bogor itu. Pendirian pabrik kompos yang membutuhkan investasi sebesar Rp 4 miliar itu didukung pula oleh Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dan Dinas Kebersihan DKI. SEJAUH ini, sejumlah warga sekitar telah merasakan manfaat kehadiran pabrik kompos tersebut. Terutama dari segi penyerapan tenaga kerja. Sedikitnya 100 warga asli yang tinggal di sekitar TPA telah direkrut menjadi tenaga kerja dengan gaji sebesar Rp 20.000 per hari. Bagi Warsih (30), warga Kampung Ciketing Udik, bekerja memilah sampah di pabrik kompos ini memberinya sedikit rasa bangga. Apalagi penghasilan yang diperolehnya juga lebih besar empat kali lipat dibanding ketika dia hanya bekerja sebagai penyobek kertas bekas gelas air minum dalam kemasan yang dipungut dari tumpukan sampah. "Sekarang saya sudah bisa punya penghasilan tetap, lumayan untuk membantu suami yang tukang ojek," kata perempuan yang tidak tamat SD itu. Warsih sendiri bersama warga lainnya mendaftar sebagai pekerja ketika mendengar ada lowongan di pabrik baru itu. "Saya sudah terbiasa bekerja dengan sampah, ya kerja dengan sampah lagi udah enggak kaget," katanya. Tentu saja harapan warga sekitar TPA untuk bisa bekerja di pabrik pengolahan sampah akan bisa terpenuhi jika pemerintah mempunyai kemauan politik untuk mengolah sampah menjadi pupuk yang bermanfaat. Sebab, minat investor untuk masuk ke bisnis itu sebenarnya cukup besar, tetapi selama ini kurang mendapat dukungan pemerintah. Jika potensi ini digarap dengan baik, kata Manurung, bisnis kompos itu juga akan sangat membantu pengelolaan sampah yang selama ini tak pernah tuntas. Apalagi, "Dari kebutuhan 10 juta ton pupuk organik per tahun sekarang ini baru bisa dipenuhi 60.000 ton," kata Manurung. PT GJTF sendiri, kata Manurung, sangat mengharapkan dukungan dari Pemprov DKI untuk bisa lebih meningkatkan produksi kompos. "Tapi sayang, dukungan itu belum ada," ujarnya. Anggota Tim Konsultan Independen TPA Bantar Gebang dari Universitas Islam45 Bekasi, Nandang Najmulmunir, mengatakan, Pemprov DKI seharusnya tidak hanya sibuk memikirkan bagaimana menyediakan lokasi pembuangan sampah yang bisa menampung sampah warganya, tetapi sudah harus memiliki skenario dan kebijakan jangka panjang untuk mengelola sampah sejak dari sumbernya. "Jika tumpukan sampah di TPA dibiarkan begitu saja, sementara DKI terus saja ingin membuang semua sampahnya ke sana, umur TPA tidak akan panjang. Malah bisa semakin merusak lingkungan," kata Nandang. Sebab, pembuangan dengan cara ditimbun tidak akan menyelesaikan masalah. Sudah saatnya pula DKI memetakan sumber sampahnya untuk menentukan pengolahan sampah yang tepat. Tidak ada salahnya juga DKI menggandeng mitra swasta yang bersedia mengolah sampahnya untuk menjadi lebih bermanfaat. (Ester Lince Napitupulu) Post Date : 03 Desember 2004 |