Sarimukti awalnya didirikan untuk menjadi tempat pembuatan kompos (TPK) dalam skala masif, sama seperti jumlah sampah yang singgah dari Kota Bandung, Kab. Bandung, Kota Cimahi, dan Kab. Bandung Barat. Namun, pada praktiknya sejak empat tahun pengoperasiannya, Sarimukti justru menjadi tempat pembuangan akhir sampah.
Seperti dinilai oleh para pengamat lingkungan, pembuatan kompos di Sarimukti adalah cita-cita yang dalam perkembangannya lebih pantas disebut basa-basi.
"Pembuatan komposnya hanya sedikit dibandingkan dengan penimbunan sampah, kemudian peralatan dan sarananya minim, dan rusak. Dari sini saja sudah bisa dipertanyakan mengenai kesungguhan pemerintah pada pengelolaan kompos Sarimukti, pengomposan di Sarimukti hanya omongan," ujar pengamat lingkungan asal Universitas Padjadjaran Chay Asdak.
Sarana pengomposan di Sarimukti tidak seimbang dengan volume sampah yang datang setiap harinya. Sarimukti hanya dilengkapi dua mesin pencacah dan dua mesin pengayak yang cuma bisa memfasilitasi pengomposan 25 meter kubik sampah. Padahal, sampah yang datang setiap hari mencapai 1.500 meter kubik.
Sejak beroperasi 2006, mesin-mesin buatan Cina tersebut tidak pernah diganti sehingga kerap rusak. Satu mesin pencacah bahkan rusak sehingga proses pengomposan menjadi terhambat. Menurut para petugas, pengerjaan juga sering tersendat karena areal pencacahan tergenang air hujan.
Sarana yang juga dinilai buruk adalah truk pengangkut sampah yang dalam satu hari bisa ratusan kali melewati wilayah Kab. Bandung Barat.
Air sampah yang kental dan bau sering bocor menggenangi jalan sepanjang jalur wisata ataupun kuliner sepanjang Padalarang-Rajamandala. "Ini jelas mengganggu usaha masyarakat. Belum lagi jalan-jalan yang rusak karena lalu-lalang truk. Padahal janjinya dulu, truk bagus dan tidak akan bocor," kata anggota Komisi C DPRD Kab. Bandung Barat Samsul Ma’arif. (Arif Budi K./"PR")
Post Date : 23 Maret 2010
|