Badannya mungil, tetapi semangatnya sangat besar, melampaui fisiknya yang hanya 41 kilogram itu. Dia berkeliling kota setiap hari dengan sepeda kumbangnya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Menyapu, memotong rumput, dan mencabut paku di pohon adalah sebagian dari pekerjaan rutinnya.
Rutinitas Sariban (66) itu muncul didorong keprihatinannya yang mendalam atas sikap warga yang tidak peduli lingkungan hidup. Banjir sampah di Kota Bandung tahun 2006 merupakan bukti nyata ketidakpedulian itu. Betapa warga mengabaikan prinsip merawat lingkungan hidup.
Bagi Sariban, pemerintah telah membuat banyak aturan, tetapi tidak berwibawa karena tidak ada ketegasan, tidak ada sanksi. ”Apa ada orang yang membuang sampah ke sungai kemudian dihukum? Tidak ada. Peraturan masih lemah,” gugat Sariban di rumahnya di Kelurahan Sadang Serang, Bandung.
Pria asal Magetan, Jawa Timur, itu berkeyakinan, warga perlu mengubah cara berpikir soal lingkungan hidup. ”Jangan membiarkan lingkungan rusak. Kitalah yang harus mengendalikan keadaan,” kata Sariban.
Dia mencontohkan, pada tahun 1985 Sariban amat terganggu pada kebiasaan para pemilik toko di Jalan Otto Iskandardinata yang membuang sampah ke selokan dan sungai. Dia kemudian memotret kejadian itu dan melaporkannya kepada Wali Kota Bandung yang saat itu dijabat Ateng Wahyudi. Setahun kemudian, Ateng mengeluarkan peraturan bahwa semua pemilik toko dilarang membuang sampah ke selokan atau sungai. Salinan peraturan ini ditempel di setiap pintu toko.
Keliling kota
Sariban mulai keluar rumah pukul 08.00 dan pulang pukul 17.30. Dia meng-gowes sepedanya sejauh 6 kilometer sampai 20 kilometer sehari.
Sepeda kumbangnya telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tampak nyentrik dan khas. Setirnya dia ganti dengan setir mobil. Boncengannya dia lengkapi dengan dua tempat sampah: untuk sampah organik dan sampah anorganik. Sariban selalu membawa sapu lidi, linggis, serok sampah, dan karung di sepedanya. Di depan dan belakang sepeda dia pasang papan bertuliskan pesan menjaga kebersihan.
Dia selalu berpakaian kuning layaknya pekerja Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung. Setiap keluar rumah, dia tak lupa membawa caping dan pengeras suara. Dengan megafon itulah dia berkoar-koar mengingatkan warga untuk menjaga kebersihan.
Pekerjaan utamanya adalah memunguti sampah yang tercecer di jalan, mencabuti rumput, dan memelihara tanaman di jalan. Itu yang dia lakukan sejak tahun 1972. Dia mengabdikan hidupnya demi lingkungan hidup. ”Bagi saya, mencintai lingkungan itu ibadah. Kalau bukan kita, siapa lagi yang harus menjaga lingkungan hidup,” ujar Sariban.
Bapak empat anak itu merasa, warga tidak ada yang tidak menyukainya. Akan tetapi, yang membuat dia jengkel adalah sikap warga yang tidak terpengaruh dengan ketekunan dan keuletan Sariban membersihkan lingkungan. Hampir setiap tempat yang dia bersihkan selalu kembali kotor keesokan harinya.
Paku 1 ton
Sariban juga terusik oleh banyaknya sampah visual berupa pamflet, poster, atau spanduk yang dipasang dan dipaku di pohon. Baginya, itu menyakiti pohon. ”Pohon merasakan sakit, hanya tidak bisa ngomong atau menjerit. Getah yang keluar dari batang pohon itu tanda bahwa dia kesakitan,” kata Sariban.
Sejak itu, dia mencabut satu per satu paku di pohon. Kini di rumahnya bertumpuk 14 karung penuh paku dari berbagai ukuran. Dia memperkirakan, beratnya tidak kurang dari 1 ton.
Sariban berniat memuseumkan paku-paku itu. Dia ingin mengingatkan masyarakat bahwa dengan menancapkan paku, mereka telah menyakiti pohon. Padahal, pohon-pohon itulah yang menyumbangkan kesegaran, keteduhan, dan menyimpan air untuk manusia. Sariban ingin membagi keprihatinannya kepada masyarakat melalui paku-paku itu.
Tentunya perwujudan niat itu butuh uluran tangan pemerintah atau pemilik dana. Inilah yang ditunggu Sariban.
Sariban benar-benar mencintai dan menikmati aktivitasnya tanpa pamrih. Berbagai penghargaan telah dia terima.
Tidak hanya itu, di jalan dia kerap berjumpa dermawan yang memberinya uang mulai dari Rp 1.000 sampai ratusan ribu rupiah. Tidak jarang warga memberinya berbagai makanan. Semuanya Sariban terima dengan penuh rasa syukur sebagai rezeki. Dia juga mengartikan semua itu sebagai bentuk rasa cinta warga kepadanya.
Kepincut Bandung
Sejak duduk di sekolah rakyat kecil, dia tertarik dengan Kota Bandung karena julukannya: Kota Kembang. Cerita gurunya di sekolah rakyat tentang Kota Bandung benar-benar berkesan bagi Sariban. Dalam benak Sariban waktu itu, Bandung adalah gambaran kota ideal dengan masyarakat yang gemah ripah loh jinawi. Udaranya sejuk, tanahnya subur, dan rakyatnya makmur.
Dengan menumpang kereta api, Sariban berangkat dari Magetan ke Bandung. Saat itu tahun 1963 ketika dia baru saja lulus Kursus Dagang Tingkat Pertama (sekolah setingkat SMP). Sampai di Bandung, Sariban menggelandang selama tiga bulan karena tidak mempunyai sanak saudara di Bumi Priangan itu. Dia kemudian bekerja sebagai kuli bangunan di Kelurahan Husein Sastranegara.
Dari upah menjadi kuli itulah Sariban melanjutkan pendidikan di Kursus Karyawan Perusahaan Tingkat Atas Bandung dan lulus tahun 1972. Tahun itu juga dia melamar dan diterima bekerja di Rumah Sakit Mata Cicendo. Tugasnya mengurusi lingkungan, mulai dari memeriksa genteng bocor, saluran air hujan, sanitasi, sampai mengurus taman.
Untuk memudahkan Sariban, Rumah Sakit Mata Cicendo memberinya sebuah sepeda kumbang yang sampai saat ini masih dia pakai. Setiap berangkat kerja, Sariban membawa sampah dari rumah untuk dibuang ke tempat penampungan sementara yang dia temui di jalan. Dia juga tekun memunguti sampah di jalan untuk dibuang ke tempat yang seharusnya. M HILMI FAIQ
Post Date : 07 Januari 2010
|