NGAMPRAH, (PR).- Bupati Bandung Barat diminta segera mengambil tindakan tegas terkait dengan terus beroperasinya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Sarimukti tanpa kompensasi jelas bagi Kabupaten Bandung Barat. Selama ini, bupati dinilai lamban mengambil kebijakan terkait dengan Sarimukti, padahal pengoperasian TPA tersebut tidak memberikan pemasukan berarti dan dampak positif bagi Kabupaten Bandung Barat.
”Ini bukan masalah kecil. Selama ini, keluhan banyak datang dari masyarakat, mulai soal rembesan air sampah yang sudah sampai ke Waduk Cirata dan mengancam ekosistem. Selain itu, polusi dari air sampah yang bocor dari truk sepanjang Padalarang-Rajamandala, penyakit, dan lainnya. Namun, tidak ada aksi nyata dari pemerintah, khususnya bupati,” kata anggota Komisi C DPRD Kabupaten Bandung Barat Samsul Ma’arif, Kamis (11/3).
Samsul mengatakan, bupati semestinya tidak berlama-lama mengambil kebijakan dan menjadi inisiator untuk pengadaan negosiasi ulang dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Perhutani. Meskipun lahan TPA itu adalah milik Perhutani, selayaknya ada kompensasi untuk masyarakat Kabupaten Bandung Barat sebagai pemangku wilayah Sarimukti yang menjadi tempat penimbunan sampah Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung.
Dia juga menyoroti buruknya kondisi sarana Sarimukti. Salah satunya adalah truk pengangkut sampah yang dalam satu hari bisa ratusan kali melewati wilayah Kabupaten Bandung Barat. Kondisi truk-truk itu, menurut Samsul, sudah tidak layak dan mesti segera diganti.
Menurut dia, dampak buruk sampah tidak hanya di wilayah TPA. Air sampah yang bau sering bocor membeceki jalan sepanjang jalur truk tersebut, sementara truk melewati wilayah-wilayah wisata maupun kuliner sepanjang Padalarang-Rajamandala.
”Ini jelas mengganggu usaha masyarakat. Belum lagi jalan-jalan yang rusak karena lalu lalang truk. Padahal, janjinya dahulu, truk bagus dan tidak akan bocor,” katanya.
Sarana rusak
Selain sarana truk, sarana pembuatan kompos di Sarimukti juga tidak seimbang dengan volume sampah yang datang setiap harinya. Sarimukti yang pada awalnya diplot sebagai TPK (tempat pembuatan kompos) ternyata hanya dilengkapi dua mesin pencacah dan dua mesin pengayak yang cuma bisa mengolah 25 meter kubik sampah. Padahal, sampah yang datang setiap hari mencapai 1.500 meter kubik. Sampah yang datang terdiri atas empat jenis, sampah industri, permukiman, perdagangan, dan sampah pasar. Sampah permukiman yang merupakan sampah anorganik adalah yang terbanyak.
Sejak beroperasi 2006, mesin-mesin buatan Cina itu tidak pernah diganti sehingga kerap rusak. Satu mesin pencacah bahkan rusak sehingga proses pengomposan menjadi terhambat. Menurut para petugas, pengerjaan juga tersendat dalam satu pekan karena areal pencacahan tergenang air hujan.
”Sarana dan sumber daya manusia sangat kurang sehingga sangat sedikit sampah yang bisa diolah menjadi kompos. Kebanyakan sampah yang tidak masuk ke sini (tempat pembuatan kompos-red.) ya dibuang,” kata Riswanto, salah seorang petugas. Tidak hanya mesin pengomposan, 3 dari 8 unit alat berat juga rusak sehingga menghambat penataan dan pemadatan. Menurut dia, sewajarnya ada peremajaan bahkan penambahan mesin-mesin tersebut agar bisa bekerja lebih maksimal. (A-168)
Post Date : 12 Maret 2010
|