Agus Supriadi (30) tidak lagi mampu meneruskan ucapannya. "Sudah mas, saya jadi teringat lagi," ujar Agus. Warga Dusun Banggle, Desa Genukwatu, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang. Tiba-tiba ia teringat Reni, salah seorang anaknya yang meninggal saat usianya baru tujuh bulan pada 23 Desember 2008.
Ponasi (27), istri Agus, menduga bayinya meninggal terkait dengan kualitas air tanah yang dikonsumsinya.
Soal itu tentu saja harus dibuktikan lebih lanjut. Akan tetapi, berdasarkan pemeriksaan di Laboratorium Kesehatan Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Surabaya pada 20 Agustus 2008, air di sumur warga di Dusun Banggle, Desa Genukwatu, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, dipastikan tidak layak konsumsi.
Hasil tes pada 2 September 2008 menunjukkan kadar bahan beracun di dalam air sumur warga jauh di atas ambang batas. Sebagai contoh, kandungan klorin tercatat 1.484,93 mg/liter, padahal batas tertinggi 250 mg/liter. Kandungan tembaga tercatat 8,2 mg/liter, jauh di ambang batas 5 mg/liter. Kandungan mangan juga tercatat 0,335 mg/liter, melebihi batas toleransi 0,1 mg/liter. Itu hanya beberapa contoh hasil tes laboratorium.
Ponasi memperlihatkan rupa air dari sumur di belakang rumahnya, Rabu (5/8). Memang tidak ada warna lain pada air itu, tetapi ada bau klorin menyengat serupa cairan pembersih atau pemutih pakaian. Air itu juga berasa getir. Di permukaan sumur warga terlihat sedikit jejak berminyak.
Lidianto (53), Ketua RT 1 Dusun Banggle, lantas menunjukkan lantai WC di rumahnya. Ubin keramik di lantai terlihat tergerus. Ia mengatakan, itu sejak tiga tahun silam. "Keramik saja kalah oleh air tersebut," katanya. Bayangkan saja tingkat kerusakan yang bakal dialami tubuh makhluk hidup. Bahkan, ujarnya, hewan peliharaan seperti sapi juga tidak mau mengonsumsi air tersebut.
Warga paling-paling menggunakan air itu untuk mencuci pakaian dan mandi. "Namun, badan saya gatal-gatal," kata Mulyono (49), warga lain. Untuk keperluan minum dan memasak, sejumlah warga terpaksa mencari sumur warga yang belum tercemar.
Penderitaan warga bermula sekitar tiga tahun lalu, sejak industri pencucian tekstil berupa potongan atau perca jins mulai beroperasi di dusun mereka. Limbah industri itu dibuang begitu saja ke enam kolam berukuran sekitar 6 meter x 6 meter dengan kedalaman sekitar 1 meter. Menurut Lidianto, yang kediamannya hanya berjarak sekitar 20 meter dari bibir ujung kolam terluar, pembuangan limbah itu dilakukan setiap hari. Membantah
Menanggapi hal itu, Matrais (44), pengusaha yang menjalankan industri pencucian tekstil, membantah usahanya mencemari lingkungan. "Siapa bilang air di sini tercemar. Warga yang mengeluh itu hanya dari orang-orang yang tidak senang," katanya. Matrais, yang merupakan rekanan Sido Guntur, kemudian secara demonstratif meminum air limbah itu. "Lihat ini, tidak beracun. Kalau airnya beracun, tentu saya sudah mabuk," katanya sembari menyeruput air limbah berbau klorin menyengat berwarna coklat.
Tri Winarni (46), istri pengusaha industri bernama Sido Guntur, mengatakan bahwa bahan baku usahanya diambil dari Jakarta. "Obat (bahan kimia) saya ambil di Surabaya, dan nanti (setelah potongan kain dicuci) dijual lagi di Surabaya," katanya. "Saya tetap akan membela (usaha) ini. Pasalnya, modal yang keluar tidak sedikit, dan ternyata usaha ini juga menampung banyak tenaga kerja," kata Matrais.
Industri pencucian tekstil berupa potongan atau perca jenis jins di Dusun Banggle, kata Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Jombang Nawi Setijanto, tidak memiliki izin gangguan (hinder ordonantie/HO). Diketahui pula bahwa industri yang sebelumnya disebutkan bernama CV Sido Guntur itu ternyata hanya berbentuk UD Sido Waras. Nawi mengatakan, industri itu hanya memiliki surat izin usaha perdagangan.
Kepala Dusun Banggle Sukristo mengaku kehabisan akal menghadapi persoalan itu. Ia mempertanyakan tidak adanya penghentian usaha tersebut dari aparat pemerintah. Padahal, Bupati Jombang Suyanto telah melayangkan surat penutupan, bahkan hingga ketiga kalinya.... Ingki Rinaldi
Post Date : 07 Agustus 2009
|