|
PEMANDANGAN di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Ciangir Kec. Tamansari Kota Tasikmalaya berbeda dari sebelumnya. Kalau setahun yang lalu ketika truk pengangkut sampah datang yang berkerumun itu puluhan pemulung, kini dibarengi dengan sapi. Sapi tersebut ikut berdesakan memungut sampah, bedanya, kalau sapi untuk dimakan, pemulung untuk dikumpulkan. Memang sapi yang ditebar di TPA Ciangir itu agak unik dan agak berbeda dengan sapi lainnya. Sapi tersebut lebih menyenangi memakan sampah yang busuk ketimbang rumput. Makanya sangat cocok sapi tersebut disebar di tempat sampah. Berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup dan Pelayanan Kebersihan (LHPK) Kota Tasikmalaya, sapi itu sengaja didatangkan dari Jawa Tengah. Sampai saat ini sudah 80 sapi disebar di TPA Ciangir. Bahkan, dalam program 2007 akan ditambah 190 sapi lagi. Bila hal itu terealisasi berarti akan ada 270 sapi berkeliaran di TPA Ciangir. Kadis LHPK Kota Tasikmalaya, Drs. Nuryadi, M.Si. mengatakan, sapi-sapi itu sengaja disebar sebagai salah satu program Dinas LHPK dalam menanggulangi sampah organik. Buktinya setelah kurang lebih satu tahun berjalan sapi-sapi tersebut mampu meminimalkan sampah organik yang dibuang ke TPA. Begitu juga sapinya tumbuh sehat dan berkembang biak. Menurut Nuryadi, pembelian sapi tersebut didanai dari APBD yang dikelola oleh masyarakat setempat. Di TPA tersebut dibuatkan kandangnya, bila sapi itu beranak maka anaknya itu diberikan hak asuh kepada warga yang belum mendapatkan sapi. "Ini merupakan program pemerintah dalam upaya meningkatkan derajat hidup warga," katanya. Sumber biogas Fungsi lain dari sapi pemakan sampah tersebut, kotorannya dijadikan sumber biogas untuk sumber energi masyarakat setempat terutama untuk memasak sebagai pengganti minyak tanah. Dari kotoran sapi tersebut sudah dimanfaatkan biogasnya oleh masyarakat setempat. Dalam upaya memasyarakatan sapi sampah tersebut, Dinas LHPK, Muspika, MUI dan peneliti dari Unsil pada Kamis (27/7) melakukan sosialisasi dengan masyarakat sekitar TPA Ciangir. Beberapa hal yang disosialisasikan terutama mengenai pelatihan pengelolaan sampah organik dan anorganik. Kemudian sosialisasi kegiatan penanggulangan sampah organik melalui pengembangan ternak sapi pemakan sampah dan program pemanfaatan kotoran sapi menjadi sumber bahan bakar. Menurut Kasubag Pemberitaan Humas Pemkot Tasikmalaya, Ade Supriadi, program ini termasuk pertama di Jawa Barat. Namun, di Indonesia Tasikmalaya menempati keempat setelah Semarang, Solo, Bantul. Dalam sosialisasi tersebut, Ketua MUI Kota Tasikmalaya, K.H. Dudung Akasah, mengeluarkan fatwa halal bagi penggunaan biogas yang berasal dari kotoran hewan. Pembuktian kehalalannya cukup menggunakan pendekatan ilmiah, di mana kotoran hewan tidak langsung kontak dengan makanan dan ia pun mencontohkan pembuatan cuka yang berasal dari bahan yang mengandung alkohol. Apalagi, menurut K.H. Dudung, antara kotoran hewan dan makanan yang dimasak melalui biogas, masih terdapat beberapa media penghubungnya. Intinya, kotoran tidak langsung kontak dengan makanan. Jadi makanan yang dimasak dengan biogas tetap halal. Pernyataan Ketua MUI itu diungkapkan setelah adanya kekhawatiran dari warga mengenai halal tidaknya biogas. Untuk itu, warga diharapkan tidak segan-segan menggunakan biogas untuk kebutuhan memasak di rumah tangga masing-masing. Sementara, ahli lingkungan dari Universitas Siliwangi (Unsil), Ir. Elya Hartini MT, menambahkan, penggunaan biogas untuk keperluan sehari-hari akan menimbulkan penghematan yang luar biasa. Menurut dia, kebutuhan energi tiap rumah tangga per hari bisa dipenuhi kotoran dua sapi. (Yedi Supriyadi/"PR") Post Date : 28 Juli 2006 |