|
Sebelum bak truk sampah itu terangkat dan memuntahkan isinya, sejumlah sapi sudah mendekat. Bersama sejumlah pemulung yang juga bergegas, bau menyengat, dan ribuan lalat, sapi-sapi itu menanti dengan sabar calon makan siangnya ditumpahkan. Mereka langsung beraksi begitu tumpukan sampah jatuh berdebum. Plastik, botol, kaleng, hingga ban bekas serta sobekan jok motor satu per satu masuk karung para pemulung. Potongan semangka dan bonggol sawi diserbu sapi-sapi dengan antusias. Tetapi, siang itu menu mereka tidak hanya sayur dan buah. Seekor sapi metal warna putih yang badannya tambun terlihat berusaha keras mengunyah sandal yang sudah butut. Di sebelahnya, satu temannya asyik menjilati plastik yang berlumur sisa kecap. Di sebelahnya lagi, seekor sapi kecil berumur sebulan mendapat menu lumayan, yakni sisa bakmi goreng dalam bungkus kertas koran. Ia didekati seekor kambing kecil seusianya, tampaknya ingin bakmi juga. Namun, sapi kecil ini tidak marah untuk membagi bakminya. Stok makanan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, Bantul, ini memang melimpah. Juga bermacam-macam jenis sampahnya. Maklum, tempat ini ialah muara dari sampah seluruh DIY. "Lebih dari 700 sapi, 200 kambing, ditambah 400-an pemulung nyari makan di sini," ujar Samidi (48), salah seorang pemulung. Ia sendiri punya dua sapi metal berumur 2,5 tahun yang "bekerja" di TPA ini dari pukul 07.00 hingga menjelang maghrib. Jika sapi milik Paidi dibawa pulang, tidak demikian dengan Sami (50). Perempuan yang juga berprofesi sebagai pemulung ini membiarkan dua sapinya bermalam di hamparan sampah. Mulai dari makan, minum, buang kotoran, hingga kawin di atas permadani sampah. Minggu (6/5) siang itu pun aktivitas makan diwarnai dengan satu sapi betina yang berlari ke sana ke mari karena dikejar tujuh sapi jantan. Namun, sempat juga seekor sapi jantan menumpanginya. "Iya tuh, yang betina belum mau kawin kok dipaksa," kata Samidi tertawa. Sampah merupakan ladang ideal bagi sapi. Namun, yang juga menarik adalah sapi dan kambing di sana tak ada yang kurus telantar. Sapi metal, menurut Samidi, bisa berbobot lebih 500 kilogram atau lebih berat 100 kilogram dari sapi biasa. "Di sini makannya lebih bergizi dan bervariasi. Bisa makan buah jeruk, kulit semangka dan melon, sawi, kol, wortel, tomat, hingga rumput. Pokoknya stok melimpah. Sapi dan kambing biasa kan hanya makan rumput, jadi ya tentu lebih kurus," tutur Sami. Namun, hewan ternak itu juga menghadapi risiko. Namanya juga sampah, tentu semua benda tajam ada, mulai dari kawat, paku, beling, silet, staples, hingga pisau karatan. Sapi milik Sami sering tertusuk paku di kaki sehingga ia rutin ke dokter agar sapinya disuntik antiinfeksi. "Kalau kebaret sedikit dibiarkan atau diberi obat merah maka sembuh sendiri," ujar Sami yang pernah kehilangan satu sapi karena tertabrak truk sampah. Bagaimana kondisi sapi karena makannya tak higienis? "Oh itu bakat alam," katanya. Maksudnya, sapi bisa memilih makanan yang bisa diterima oleh perutnya. Sapi juga bisa memuntahkan sendiri makanan yang tidak bisa dicerna namun telanjur ditelan. Namun, tak semua sapi punya bakat itu. Jika begitu, sapi menjadi kurus dan tak lama kemudian mati. Menjadi ironis juga jika membandingkan dengan jasa para sapi dan kambing ini. Satu sapi dewasa, misalnya, dalam sehari makan (mengurangi) sampah minimal lima kilogram. Di sisi lain sampah yang dibuang ke TPA dalam sehari mencapai 350-400 ton. Berkalkulasi sedikit, dengan asumsi 700 sapi, maka sampah berkurang minimal 3,5 ton sehari. Luar biasa. Ternyata ada pahlawan tanpa tanda jasa bernama sapi. Lebih tepatnya mungkin pahlawan yang ironis karena sebagian dari mereka mengakhiri hidupnya di ujung pisau untuk menjadi daging segar. Lukas Adi Prasetya Post Date : 07 Mei 2007 |