|
MENEMPUH perjalanan menuju Kampung Kelor, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang, sebetulnya cukup menyenangkan. Selama perjalanan, kita bisa melihat hamparan hijau sawah penduduk, terasa begitu sejuk dan permai. Namun, begitu memasuki perkampungan, pemandangan berubah memilukan sebab segera terbesit gambaran kemiskinan. Deretan acak rumah terbuat dari bambu dan beratap rumbia. Sebagai tempat sampah, warga mencangkul tanah di dekat rumahnya, bahkan tidak sedikit yang membiarkan sampah menumpuk, sehingga menebar bau ke mana-mana. ''Kalau sudah banyak, baru dibakar, Mbak,'' begitu alasan seorang warga saat ditanya Media. Kalau kebetulan mengunjungi kampung yang terkena wabah muntaber bulan lalu itu, jangan heran bila melihat bilik berukuran sekitar 4 meter persegi di dekat rumah warga. Ada yang terbuat dari bambu, ada juga yang terbuat dari karung plastik yang ditempelkan begitu saja di tiang bambu. Warga menyebut bilik itu jamban, tempat mereka mandi. Untuk mencuci pakaian dan buang air besar, warga memanfaatkan kali kecil yang mengalir di kampung mereka. Meski airnya terlihat keruh, sejumlah ibu dan anak gadis tampak asyik mencuci pakaian di pinggir kali itu . Sementara itu, anak-anak bersorak riang berenang di dekatnya. Tak jauh dari tempat mereka mencuci, ada jamban berdinding karung plastik biru, yang dipakai untuk buang hajat warga sekitar. ''Warga sini kalau buang air besar ke kali atau ke kebun dekat sini. Memang ada WC umum, tapi warga nggak ada yang mau ke sana. Udah jauh dari rumah, katanya serem lagi,'' ujar Sidah, 25, warga Kampung Kelor yang dua anaknya terserang muntaber bulan lalu. Melewati sebuah ruas jalan yang becek, tampak balita laki-laki telanjang bulat sedang bermain kelereng bersama empat kawannya. Saat ditanya mengapa tidak memakai baju, seorang ibu yang sedang menyapu di dekat mereka menjawab dengan santai kalau anaknya habis mandi. Anak-anak yang tidak memakai celana atau bermain tanpa alas kaki sudah menjadi pemandangan biasa di Kampung Kelor. Siti, 8, mengaku tidak memakai sandal karena sandalnya sedang dipakai adiknya. Bila di Kampung Kelor ada jamban di pinggir kali, lain lagi di Kampung Bonisari, Kecamatan Paku Haji. Karena tidak ada kali, warga kampung itu membuat jamban di tepi empang dekat rumah mereka. Di empang itu pula mereka memelihara ikan lele dan di satu empang bisa terdapat dua jamban untuk buang hajat. Itu bagi mereka yang punya empang. Bagi yang tidak, mereka membuang hajat di sembarang tempat. Kekumuhan itu terasa semakin lengkap karena sumur-sumur warga jarang yang berbibir, sehingga ketika hujan, air kotor dapat langsung mengalir masuk ke sumur mereka. Hidup bersih dan sehat memang belum tertanam pada warga Kampung Kelor dan Kampung Bonisari, juga kebanyakan kampung-kampung lain di Kecamatan Sepatan dan Kecamatan Pakuhaji. Tidak heran bila banyak warganya yang terserang muntaber bulan lalu. Wabah yang kemudian ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB) itu menyerang 1.341 warga Kabupaten Tangerang, 18 di antaranya bahkan meninggal dunia. Apa yang berlangsung di dua kampung itu tidak jauh berbeda dengan Kampung Bojong Renged, Kecamatan Teluk Naga, yang warganya banyak terserang wabah cikungunya, pekan lalu. Rumah warga Bojong Renged kebanyakan terbuat dari bilik bambu yang minim ventilasi, sehingga rumah mereka tampak gelap meski di siang hari. Karena kurang paham, mereka hanya mengeluh kalau di rumahnya banyak nyamuk meski di siang hari. Selain itu, genangan air tampak di mana-mana karena tidak terdapat selokan sehingga jalan tanah pun menjadi becek dan licin. Sejumlah warga membuat kolam untuk menampung air dari kamar mandi mereka. Namun sayang, kolam itu malah menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk. ''Saya sudah pernah menanam ikan sepat di sini, tapi mati. Air yang ngalir ke sini kan air sabun bekas mandi, apa bisa hidup ikan di air kotor ini?'' ujar Eni Nurani, 34, warga RT 20/09, salah seorang warga yang membuat kolam di samping rumahnya sebagai tempat menampung air kotor. Di halaman belakang rumah Eni tampak kandang ayam dan deretan pohon pisang. Sesaat di sana, terdengar suara nyamuk berseliweran. Lain lagi dengan Rita, 20, yang mengaku tidak punya tempat untuk membuat kolam, sehingga dia membiarkan air dari kamar mandi mengalir begitu saja. ''Saya mau buat parit atau kolam di mana, Mbak? Belakang rumah saya sudah mepet dengan rumah tetangga, jadi enggak ada tempat lagi. Kamar mandi ini pun cuma boleh buat mandi aja, kalau buang air harus di sawah supaya nggak bau,'' tuturnya. (Nerma Ginting/J-4) Post Date : 19 Juli 2005 |