SEPERTI juga di Jakarta, kota-kota urban di Amerika Serikat mengha dapi ancaman suplai air bersih. Namun, bukan berlomba-lomba membuat sumur bor yang lebih dalam, pengelola-pengelola gedung publik berusaha untuk mandiri air bersih dengan mengolah lagi air buangan mereka. Usaha itu dilakukan mulai dari se kolah dasar, universitas, hingga angkatan bersenjata AS.
“Air (bersih) adalah isu yang paling mengancam lingkungan selain energi. Malah air dan energi juga saling berkait dan membuat dampak bersama. Kita punya banyak air, tapi juga butuh energi besar untuk memurnikannya,” kata James Englehardt, profesor teknologi ling kungan dari University of Miami yang menjadi motor proyek daur ulang air di universitas tersebut, beberapa waktu lalu.
Bulan lalu, University of Miami memulai pembangunan asrama yang akan mendaur ulang air bekas mandi, cuci, dan toilet untuk digunakan kembali, kecuali untuk minum dan masak.
Dengan dana hibah US$2 juta dari National Science Foundation, sistem yang akan mampu mengubah air kotor tadi menjadi air minum (potable water) juga tengah dikembangkan peneliti.
Sementara itu di Seattle, sebuah sekolah dasar sebenarnya telah mampu mengubah air kotor tersebut menjadi air layak minum. The Bertschi School, sekolah dasar yang baru berdiri pada Februari lalu, telah dilengkapi dengan instalasi daur ulang kotoran dengan sistem pengom posan.
Kotoran dari toilet tidak dibuang ke saluran kota, tapi diendapkan di tempat. Untuk proses ini, toilet-toilet di sekolah pun dibuat dengan sistem toilet vacuum layaknya di pesawat.
Meski tidak menggunakan air, toilet ini dikatakan tidak menimbulkan bau. Dari situ kotoran kemudian disalurkan ke instalasi setinggi 14 kaki yang di dalamnya terdapat tanamantanaman air. Tanaman ini berfungsi untuk menyerap kotoran organik.
Instalasi sekolah ini dibangun oleh tim profesional dari Proyek Restorative Design Collective. Tim juga memberikan donasi US$500 ribu dan material dalam pembangunan sekolah ini.
“Golnya adalah gedung yang minim, bahkan sama sekali tidak berdampak buruk bagi lingkungan,” kata Stacy Smedley, salah satu arsitek proyek tersebut.
Kualitas air dari sistem daur ulang ini sudah memenuhi syarat air minum. Meski begitu, hingga kini sekolah masih menggunakan air PAM karena terbentur dengan peraturan kesehatan tentang air minum.
“Negara sekarang ini masih sangat khawatir tentang pengolahan air minum secara mandiri,” kata Joel Sisolak, pengampanye wilayah Washington dari Cascadia Green Building Council. “Penyediaan air minum dan pengolahan air kota telah melakukan banyak hal untuk mendukung kesehatan masyarakat. Namun pertanyaan nya, apakah model ini masih yang terbaik?” tambahnya.
Chris Hellstren, arsitek lain dari proyek Bertschi, mengakui bahwa daur ulang yang dibuat di sekolah itu memang tampak ekstrem. Namun menurutnya, jika masyarakat bisa langsung menggunakan sistem itu, mereka akan lebih bisa menerima dan mendukung daur ulang ini. Terlebih sistem minim air ini berarti menghemat penggunaan air bersih dan energi yang kini banyak dibutuhkan oleh sistem sanitasi umum.
Di sisi lain, meski tetap berharap dapat menggunakan kembali air olahannya, The Bertschi School mengakui bahwa sistem daur ulang itu mungkin tidak cocok untuk seluruh masyarakat.
"Saya sendiri juga tidak dapat membayangkan jika seluruh orang di kota menggunakan toilet kompos dan dalam satu sistem yang terhubung. Yang kami lakukan sekarang adalah sebuah demonstrasi dan ini berhasil," kata Stan Richardson, perwakilan sekolah itu.
Richardson menambahkan pihak sekolah memilih cara daur ulang itu karena merupakan metode yang baik untuk menunjukkan kepada murid bahwa ada banyak cara untuk melakukan sesuatu, termasuk gaya hidup yang lebih ramah lingkungan.
Tidak ingin ketinggalan, angkatan bersenjata AS pun kini memiliki proyek-proyek sanitasi rendah energi dan tanpa air. Proyek ini antara lain diterapkan di markas Fort Riley di Kansas, Camp Rilea di Oregon, dan markas gabungan Lewis-McChord di Washington. (AP/Big/M-1)
Post Date : 03 Mei 2011
|