|
[JAKARTA] Pengelolaan sanitasi air di daerah perkotaan di Indonesia sangat buruk. Hal ini tercermin dari rendahnya presentasi masyarakat yang terkoneksi dengan sistem pembuangan limbah. Rektor Universitas Indonesia (UI), Gumilar Rusliwa Somantri dalam sambutannya yang dibacakan Direktur Direktorat Riset dan Pengembangan Masyarakat (DRPM) UI, Abdullah Dahana, dalam seminar sehari "Sanitasi Air bagi Kehidupan Perkotaan Indonesia" yang diselenggarakan Program Studi Kajian Pengembangan Perkotaan Pasca Sarjana UI, di Jakarta, Rabu (2/3), mengatakan, jika dibandingkan dengan kota-kota di kawasan Asia, kota-kota di Indonesia jauh tertinggal dalam pengelolaan sanitasi. Dalam sambutannya tersebut Rektor UI memaparkan, di Jakarta hanya 1 persen penduduk yang terhubung dengan sistem pembuangan limbah. Menurut dia, prosentase ini termasuk sangat kecil dibandingkan dengan kota Ho Chi Mint City di Vietnam yang mencapai angka 12 persen, Manila di Filipina yang mencapai 7 persen, bahkan Kota Dhaka di Bangladesh yang mencapai 30 persen. Kondisi memprihatinkan ini, lanjut Abdullah, berdampak pada tingginya angka kematian anak balita (bawah lima tahun) akibat penyakit diare. "Separuh dari 200.000 kematian balita akibat di Asia terjadi di Indonesia," katanya. Disebutkan, data dari laporan Pemerintah ke Millenium Development Goals (MDGs), setelah 63 tahun Indonesia merdeka, sebanyak 72,5 juta penduduk negara ini masih membuang hajat di luar rumah serta 60 persen penduduk ibukota memiliki sumur yang berjarak tidak lebih dari 10 meter dari septic tank. Buruknya pelayan sanitasi tersebut, diakibatkan Pemerintah belum menempatkan perbaikan fasilitas sanitasi sebagai salah satu prioritas pembangunan. Menurut Rektor UI dalam sambutannya itu, Pemerintah tidak akan mengalami kesulitan untuk mempertimbangkan ketersediaan air bersih dan sanitasi yang sehat sebagai prioritas pembangunan. [E-7] Post Date : 03 April 2008 |