|
JAKARTA (MI): Akses sanitasi pedesaan di Tanah Air hanya mencakup 40% dari kebutuhan masyarakat. Dampaknya, lebih dari 100 juta jiwa penduduk pedesaan masih menghadapi masalah akses sanitasi. Hingga sekarang, akses mendapat sanitasi layak masih menjadi masalah besar bagi penduduk Indonesia. Pasalnya, sebanyak 57% dari 236,4 juta (2007) penduduk Indonesia bermukim di kawasan pedesaan. "Selain sanitasi, Indonesia masih menghadapi isu-isu lingkungan lainnya, seperti bencana lingkungan, pencemaran lingkungan, perilaku sehat yang masih rendah, dan air yang tidak aman," kata Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes I Nyoman Kandun, dalam seminar memperingati Hari Air Sedunia 2008, kemarin, di Jakarta. Padahal, sesuai dengan millenium development goals (MDG's), pada 2015, ditargetkan, akses sanitasi bagi masyarakat, setidaknya sudah bisa diakses minimal 69% masyarakat dalam suatu negara. Kandun mengatakan, berdasarkan kalkulasi itu, setiap tahun setidaknya terdapat pertambahan 3,7 juta orang yang harus mendapat akses sanitasi. "Itu memerlukan dana sekitar US$600 juta per tahun. Sedangkan, investasi saat ini, hanya US$27 juta per tahun," katanya. Ia menjelaskan terdapat empat dampak buruk bagi kesehatan akibat pengelolaan air dan sanitasi yang buruk. Dampak itu meliputi penyakit diare, tifus, polio, dan cacingan. Bahkan survei 2006 menyebutkan kejadian diare pada semua usia di Indonesia adalah 423 per 1.000 penduduk. Pada kelompok anak-anak, rata-rata per tahun, anak Indonesia terkena diare satu hingga dua kali. Selain itu pada 2001, angka kematian rata-rata yang diakibatkan diare adalah 23 per 100 ribu penduduk. Pada kelompok balita, jumlah kasusnya lebih tinggi, yakni, 75 per 100 ribu balita. Cacingan tinggi Sementara itu, data Depkes mengungkapkan bahwa pada 2007, prevalensi cacingan mencapai 35,3% dan kejadian tipus mencapai 350-810 per 100 ribu penduduk akibat sanitasi yang buruk di Indonesia. "Bila dihitung, kerugian ekonomi akibat sanitasi yang buruk berdasarkan studi Asian Development Bank (ADB) pada 2008 mencapai sekitar 2,4% dari gross domestic product (GDP) atau US$13 per bulan pada setiap rumah tangga," ujar Kandun. Ia memaparkan, terdapat empat intervensi untuk mencegah diare, yakni pengelolaan air dan penyimpanan di tingkat rumah tangga, mempraktikkan cuci tangan, meningkatkan sanitasi, serta meningkatkan penyediaan air. Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyerukan agar pemerintah melakukan berbagai intervensi perilaku melalui modifikasi lingkungan. Intervensi itu akan dapat mengurangi angka kejadian diare sampai dengan 94%. Rinciannya, pengelolaan air dan penyimpanan di tingkat rumah tangga dapat mengurangi angka kejadian diare sebesar 39%. Mempraktikkan cuci tangan yang efektif dapat mengurangi diare hingga 45%, peningkatan sanitasi 32%, dan penyediaan air 25%. Pada kesempatan yang sama, Dirjen Cipta Karya Budi Yuwono mengatakan pelayanan air minum melalui pipa di Indonesia juga masih rendah. Tercatat, pelayanan air minum di perkotaan hanya mencakup 41% dan di pedesaan hanya 8%. Di sisi lain, perusahaan daerah air minum (PDAM) sebagai penyelenggara, sebagian besar kondisinya dalam keadaan sakit. Sebanyak 164 dari 318 PDAM menghadapi beban utang total sekitar Rp5,4 triliun. Padahal, pemerintah menargetkan pelayanan air minum melalui pemipaan di perkotaan bisa mencapai 66% dan di pedesaan mencapai 30%. (Tlc/H-2) Post Date : 15 Maret 2008 |