|
MEDAN (SINDO) Buruknya sistem sanitasi (pengelolaan limbah) di Indonesia setidaknya menimbulkan kerugian Rp43 triliun dalam setahun. Padahal, untuk perbaikan dan pemeliharaan sarananya cuma dibutuhkan modal Rp5 triliun per tahun. Demikian kalkulasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang disampaikan Kasubdit Air Minum dan Air Limbah Direktorat Permukiman dan Perumahan Bappenas Ir Nugroho Tri Utomo di sela Lokakarya Keberlanjutan Air Baku PDAM di Kampus Universitas MuhammadiyahSumateraUtara( UMSU), Medan,Senin (26/3). Buruknya sistem sanitasi, lanjut dia, telah mengakibatkan rusaknya sumber-sumber air di negeri ini. Jadi, angka kerugian Rp43 triliun tersebut didasari penghitungan dampak ekonomi akibat rusaknya sumber air. Jika angka itu dicacah, maka setiap rumah tangga di Indonesia harus mengeluarkan uang Rp120 ribu per tahun. Dengan keadaan itu, saya kurang begitu yakin bisa mencapai kondisi ideal Millenium Development Goals (MDGs) 2015. Sekarang saja, laju kerusakan sudah begitu tinggi, ungkap Nugroho. Dari catatan Depkes RI 2005, sebut dia, terjadi 300 kasus diare dari 1.000 penduduk di Indonesia. Diare adalah salah satu indikator buruknya sumber air minum dan kualitas sanitasi. Nugroho juga menjelaskan, kondisi tersebut sangat berkorelasi dengan tercemarnya 70% kondisi air bawah tanah kota-kota besar di Indonesia oleh bakteri ecoli yang biasa terdapat dalam tinja manusia. Ini adalah bakteri yang menjadi salah satu indikator air bersih. Fakta itu sekaligus membuktikan lemahnya kualitas pengelolaan limbah cair yang sangat berpengaruh terhadap sektor kesehatan masyarakat. Anda bisa bayangkan, bila seorang buruh harian lepas terkena diare, lalu dia tidak bisa bekerja, lalu pekerjaannya di ambil-alih orang lain, berapa banyakkah tingkat kehilangan pekerjaan hanya gara-gara kita tidak mampu merawat sumber air kita, tandas Nugroho. Dengan kerusakan kualitas air, sebut dia pula, maka perusahaan daerah air minum (PDAM) harus mengeluarkan biaya lebih. Untuk 1 mg kandungan byological oxygen disolve (BOD) dalam sumber air yang digunakan PDAM, akan terjadi peningkatan pembiayaan sebesar Rp9,14 per mg per liter air. Dengan demikian, rumah tangga di Indonesia harus mengeluarkan 25% dari rekening air bersihnya untuk biaya pencemaran, kata Nugroho lagi. Sementara itu, Kabid Bina Teknologi Bapedalda Sumut Rosdiana Simarmata menyebut, kegagalan pengelolaan air sebagai bentuk kegagalan multidimensi. Sebab, laju kerusakannya lebih tinggi dari laju restorasi lingkungan. Menurut Rosdiana, saat ini setiap 10 detik telah terjadi kematian balita di Indonesia akibat rendahnya kualitas air dan hubungannya dengan serangan diare. Ini dampak pembangunan yang tidak memerhatikan fungsi ekosistem. Kerusakan satu sektor akan mengakibatkan kerusakan sektor lain, termasuk sektor pertanian yang masih sangat kuat menggunakan pestisida maupun pupuk kimia, jelasnya. (indra gunawan) Post Date : 27 Maret 2007 |