Sanitasi Buruk, Ancam Kehidupan

Sumber:Kompas - 19 Maret 2008
Kategori:Sanitasi

Awalnya hanya ada 10 rumah yang mempunyai dan memakai jamban. Munculnya rasa jijik, malu, dan berdosa menjadikan warga Ciseke, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, tidak mau lagi membuang kotoran sembarangan.

Seorang spesialis sanitasi lingkungan dan air dari Unicef, Dr Hening Darpito, dalam laporannya menuliskan, dalam tempo sekitar empat bulan, sebanyak 138 keluarga yang menghuni 121 rumah di Ciseke mampu membebaskan diri dari buang air besar sembarangan.

Mereka dengan sukarela dan sesuai kemampuannya sendiri membangun jamban dekat tempat tinggalnya. Kini mereka merasa lebih nyaman memiliki jamban di dekat rumah, tidak perlu repot ke kebun atau ke sungai jika perut sudah melilit.

Kecamatan Cidahu ”tersohor” pada tahun 2005 karena munculnya penyakit polio. Penyebaran penyakit ini disebabkan lingkungan yang kotor, masyarakat membuang tinja sembarangan di sungai, kolam, dan kebun. Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi kemudian mencoba menerapkan pendekatan pembangunan sanitasi total berbasis masyarakat di salah satu dusun di Ciseke.

Manusia membuang kotoran karena merasa tinja tidak ada manfaatnya. Tinja dijauhkan dari dirinya karena merasa terganggu, berbau, tidak enak dipandang, dan bagi yang tahu dapat menyebabkan penyakit. Ketika menjauhkan tinja dari dirinya, berarti mendekat kepada orang lain, bisa saja anaknya, keluarganya, ataupun tetangganya.

Pemahaman inilah yang diangkat fasilitator dengan cara membantu masyarakat menghitung berapa ton tinja orang satu kampung setiap hari yang dibuang di kebun, kolam, dan sungai. Betapa jahat perbuatan buang air besar sembarangan yang menyebabkan orang lain terganggu, tidak nyaman, bahkan menjadi sakit.

Warga merasa jijik dan malu dijadikan ”pintu masuk” dalam pendekatan sanitasi total berbasis masyarakat. Warga pun diajak mendiskusikan hal tersebut dan diajak melakukan perubahan dengan membangun jamban. Meskipun melalui argumentasi yang alot—ada yang setuju, ada yang tidak setuju karena keterbatasan penghasilan—warga pun akhirnya sepakat membangun jamban dan septic tank. Pembangunan jamban dilakukan secara bergotong-royong.

Melalui para pemimpin lokal, perubahan paradigma dan perilaku pun bisa dilakukan. Departemen Kesehatan melaporkan pada tahun 2007 tidak kurang 160 desa bebas dari perilaku buang air besar sembarangan, dan tahun 2008 sebanyak 200 kabupaten mencoba pendekatan ini di daerahnya.

Perilaku kolektif

Sanitasi total, menurut Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan I Nyoman Kandun, dapat dicapai bila setiap rumah tangga menghentikan praktik buang air besar sembarangan dan menggunakan jamban yang aman untuk pembuangan tinja.

”Selain itu, juga mencuci tangan dengan sabun, mengatur dan menyimpan air dan makanan dengan cara yang aman, mengatur limbah air domestik,” kata Kandun.

Sanitasi total menargetkan semua masyarakat dan fokus pada perubahan perilaku kolektif. Masyarakat diajak untuk ikut merencanakan kebutuhan sanitasi dasarnya.

Pendekatan seperti zaman dulu, yakni dengan membagi-bagi jamban, pompa dibikin tetapi dengan pendekatan proyek, menjadikan masyarakat tidak merasa memiliki sarana sanitasi tersebut.

”Jamban tidak digunakan, pompa air jebol karena masyarakat tidak punya rasa memiliki,” tambah Kandun.

Masyarakat pun juga perlu diberi pemahaman pentingnya sanitasi dasar bagi kelangsungan hidup mereka. Jika mengabaikan hal ini, penyakit akan mengancam kehidupan.

Dampak kesehatan

Di Indonesia terdapat empat dampak kesehatan besar disebabkan oleh pengelolaan air dan sanitasi yang buruk, yakni diare, tipus, polio dan cacingan. Hasil survei pada tahun 2006 menunjukkan bahwa kejadian diare pada semua usia di Indonesia adalah 423 per 1.000 penduduk dan terjadi satu-dua kali per tahun pada anak-anak berusia di bawah lima tahun.

Data dari Direktorat Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan menyebutkan, pada tahun 2001 angka kematian rata-rata yang diakibatkan diare adalah 23 per 100.000 penduduk, sedangkan angka tersebut lebih tinggi pada anak-anak berusia di bawah lima tahun, yaitu 75 per 100.000 penduduk.

Kematian anak berusia di bawah tiga tahun 19 per 100.000 anak meninggal karena diare setiap tahunnya—salah satu penyebab kematian anak (lainnya karena ISPA/infeksi saluran pernapasan akut, dan komplikasi sebelum kelahiran)—data dari Profil Indonesia, 2003.

Adapun kejadian tipus di Indonesia adalah 350-810 per 100.000 penduduk. Studi klinis rumah sakit menunjukkan bahwa angka kesakitan tipus adalah 500 per 100.000 penduduk dan laju kematian adalah 0,6 persen-5 persen.

Kematian akibat polio telah terjadi di Indonesia (di Provinsi Jawa Barat) pada seorang anak laki-laki berusia di bawah dua tahun. Selain itu, prevalensi cacingan di Indonesia adalah 35,3 persen. Kerugian ekonomi sekitar 2,4 persen dari GDP atau 13 dollar AS per bulan per rumah tangga (studi Asian Development Bank 1998).

Intervensi

Empat intervensi untuk mencegah diare adalah pengolahan air dan penyimpanan di tingkat rumah tangga, melakukan praktik cuci tangan, meningkatkan sanitasi, dan meningkatkan penyediaan air.

Setiap intervensi memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap diare. Data terkini dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 2006, menunjukkan bahwa berbagai intervensi perilaku melalui modifikasi lingkungan dapat mengurangi angka kejadian diare sampai dengan 94 persen melalui pengolahan air yang aman dan penyimpanan di tingkat rumah tangga dapat mengurangi angka kejadian diare sebesar 39 persen, melakukan praktik cuci tangan yang efektif dapat menurunkan angka kejadian diare sebesar 45 persen, meningkatkan sanitasi dapat menurunkan angka kejadian diare sebesar 32 persen, dan meningkatkan penyediaan air dapat menurunkan kejadian diare sebesar 25 persen.

Selain tidak buang air besar sembarangan, dua hal penting lain yang bisa dilakukan semua anggota masyarakat adalah memasak air minum dan mencuci tangan. Kelihatannya sepele tetapi tidak semua orang melakukannya.

Seorang panelis memaparkan, hampir semua rumah tangga memasak air untuk mendapatkan air minumnya. Dalam hal merebus, Indonesia memang lebih maju. ”Hampir semua memasak, tetapi sekitar 47,5 persen rumah tangga air minumnya ternyata mengandung E coli (Entamoba coli),” katanya. Bakteri E coli ini berbahaya bagi kesehatan karena menyebabkan gangguan perut.

Proses mencuci tangan pun bisa menjadi persoalan bagi sebagian orang. Studi baseline Basic Human Services USAID terhadap 7.137 rumah tangga yang memiliki anak berusia di bawah tiga tahun di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur (di 30 kabupaten/kota), ternyata hanya 77 persen yang memiliki sikap positif terhadap cuci tangan memakai sabun. Tidak semua orang bersikap positif. Untuk penyuluhan harus terus digencarkan.

Data dari Depkes lebih memprihatinkan. Hanya sebagian kesil masyarakat yang mempraktikkan cuci tangan: 12 persen setelah buang air besar, 9 persen setelah membersihkan pantat bayi, 14 persen sebelum makan, 7 persen sebelum memberi makan anak, dan 6 persen sebelum menyiapkan makanan.

Untuk meningkatkan presentasi masyarakat yang mempraktikkan cuci tangan, Depkes telah mengembangkan strategi baru ”cuci tangan pakai sabun” melalui kemitraan pemerintah-swasta. Hal ini sebelumnya telah terbukti meningkatkan kesadaran dan implementasi perilaku sehat yang baik di beberapa negara.

Ke depan, melalui pemahaman yang terus-menerus, masyarakat akan bisa mengubah perilaku hidup yang tidak sehat. Betapapun, penyakit akan datang jika kita tidak bisa menjaga kesehatan diri dan lingkungan. Sanitasi buruk dan perilaku yang buruk adalah ancaman bagi kehidupan kita.... Elok Dyah Messwati



Post Date : 19 Maret 2008