Sanitasi Baik, Keuntungan Terbidik

Sumber:Media Indonesia - 22 Maret 2008
Kategori:Sanitasi

DI Indonesia, pemenuhan kebutuhan akan air bersih terutama untuk minum dan sanitasi masih menjadi salah satu persoalan yang tidak kunjung selesai.

Hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pada 2006 dari 53 juta rumah tangga Indonesia baru sekitar 23% atau 12,2 juta saja yang sumber air minumnya dari ledeng. Persentase itu hanya meningkat 1% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Keadaannya pun tidak merata di kota dan desa. Di desa, rumah tangga yang sudah dialiri air ledeng baru mencapai angka 10% saja, sedangkan di perkotaan sudah mencapai 39,7%. Data yang sama menyebutkan hanya 57% yang memiliki fasilitas air minum sendiri. Lainnya, fasilitas air minum dimiliki secara bersama dan umum. Atau bahkan tidak memilikinya sama sekali.

Khusus proporsi rumah tangga dengan menggunakan ledeng atau pipa sebagai sumber air minumnya, jika dilihat perkembangannya, menurut data yang dirilis BPS, sejak 1995 cenderung mengalami peningkatan. Walau peningkatan tersebut tidak menunjukkan angka yang cukup signifikan.

Pada 1995, persentase rumah tangga yang menggunakan air ledeng baru mencapai 16%. Pada 2006, persentasenya meningkat menjadi 23%. Dengan demikian, selama lebih dari satu dekade penggunaan air ledeng sebagai sumber air minum mengalami kenaikan hanya 7%. Bila dihitung rata-rata per tahun, pertumbuhan tiap tahunnya hanya sebesar 0,6%.

Sebagai perbandingan dengan beberapa negara lain di Asia Tenggara, sampai dengan 2000, persentase akses daerah perdesaan terhadap sumber air di Indonesia masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Malaysia merupakan negara di Asia Tenggara dengan akses terhadap sumber air di perdesaan tertinggi yaitu mencapai 94%. Sementara itu, untuk Indonesia, akses pada sumber air di perdesaan baru mencapai 69%. Kondisi itu bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan Vietnam yang persentasenya telah mencapai 72%.

Sumber air minum yang bersumber dari air pipa pada dasarnya dipenuhi oleh perusahaan daerah air minum (PDAM). Sampai dengan 2000, data dari Departemen Pekerjaan Umum menunjukkan dari 290 PDAM yang ada di seluruh Indonesia, jumlah pelanggannya mencapai baru mencapai 4,8 juta.

Berdasarkan jumlah tersebut, pelanggan terbesarnya adalah rumah tangga yang mencapai 91% atau hampir 4,4 juta. Kemudian kelompok usaha industri yang mencapai 5,9% atau 285.198 pelanggan, kelompok pelanggan sosial sebesar 1,5% atau 202.493, dan instansi pemerintah sebesar 1,12% atau mencapai 55.342. Sisanya 0,84% digunakan untuk hidran umum atau fasilitas MCK.

Kegagalan PDAM dalam memenuhi kebutuhan tersebut sebenarnya lebih disebabkan masih buruknya kondisi jaringan pipa yang dimiliki. Jaringan pipa penyaluran yang dimaksudkan di sini termasuk pula pengumpulan (intake), jaringan transmisi, instalasi pengolahan air, penampungan (reservoir), jaringan distribusi, sampai dengan sambungan ke tiap-tiap rumah.

Hal tersebut mengakibatkan kualitas air yang sampai kepada pelanggan atau masyarakat menjadi menurun. Selain itu, PDAM dihadapkan pada masalah manajemen yang buruk. Termasuk masalah kebocoran air (unaccounted for water) yang hingga 2000 rata-rata untuk seluruh perkotaan Indonesia saja mencapai 36% atau setara 119.329 liter per detik.

Akibatnya sebagian besar PDAM yang ada di Indonesia mengalami kerugian dan memiliki utang hingga mencapai total Rp5,7 triliun. Namun terlepas dari berbagai persoalan teknis yang ada pada PDAM, kondisi seperti itu sebenarnya membuktikan kemampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan air sebagai salah satu kebutuhan dan hak dasar tiap manusia masih sangat kurang.

Sanitasi

Pada 22 Maret setiap tahunnya ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai Hari Air Dunia. Penetapan itu bertujuan memusatkan perhatian masyarakat terhadap pentingnya isu mengenai air.

Tema untuk Hari Air Dunia 2008 adalah sanitasi. Yang sejalan dengan ditetapkannya tahun ini sebagai International Year of Sanitation. Melalui tema ini, kita diharapkan mengingat akan bahaya pencemaran air sebagai sumber kehidupan manusia sekaligus pentingnya upaya bersama antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas air.

Hingga separuh jalan menuju tenggat pencapaian Millennium Development Goals (MDG) pada 2015, kinerja pembangunan sektor sanitasi di Indonesia belum cukup memberikan hasil yang signifikan. Perhitungan National Action Plan Air Limbah Departemen PU memerlukan investasi rata-rata hingga 2015 sekitar US$242.204 juta per tahun, sedangkan investasi yang sudah dilakukan masih jauh dari mencukupi.

Berdasarkan data BPS tentang aksestabilitas terhadap fasilitas sanitasi hingga 2006, tingkat rumah tangga di Indonesia yang menggunakan jamban pribadi baru mencapai 60% atau sekitar 31,8 juta.

Dari angka tersebut, kualitas jamban yang baik yang klosetnya berbentuk leher angsa baru mencapai 62% saja. Rumah tangga yang mempunyai tangki pembuangan tinja juga baru mencapai 41%.

Terakhir yang juga perlu diperhatikan dalam masalah air dan sanitasi adalah seberapa jauh atau jarak antara sumber air minum ke tempat penampungan akhir kotoran. Pada umumnya jarak standar yang dianggap aman untuk dikonsumsi adalah 10 meter dari tempat pembuangan akhir kotoran.

Data dari BPS hingga 2004 memperlihatkan persentase rumah tangga yang memiliki jarak sumber air kurang atau sama dengan 10 meter adalah 28,9% atau 14,9 juta. Di sisi lain, rumah tangga dengan sumber air minum dengan jarak lebih dari 10 meter mencapai 48,15% atau lebih dari 24,8 juta rumah tangga.

Namun yang menarik dari data tersebut ialah bahwa ternyata persentase rumah tangga dengan sumber air minum yang jaraknya kurang dari 10 meter terbesar justru berada di perkotaan yang mencapai 40,6%. Sementara itu, di perdesaan hanya sebesar 22,7%.

Muncul penyakit

Masih buruknya kondisi umum dari sistem air minum dan sanitasi di Indonesia bagaimanapun juga akan berdampak pada masalah tingkat kesehatan masyarakat. Rendahnya kualitas sumber-sumber air minum dan sanitasi pada umumnya akan berakibat kepada munculnya penyakit seperti diare, muntaber, dan berbagai macam penyakit kulit lainnya.

Sebagai gambaran sederhana dapat dilihat dari data dari BPS pada 2004 lalu, persentase masyarakat yang terkena penyakit diare mencapai 5,24% atau 11,53 juta orang dari 220 juta penduduk Indonesia. Data ini turun jika dibandingkan dengan 2003 yang mencapai 5,32% atau sekitar 11,7 juta penderita.

Lebih buruknya kondisi sanitasi di daerah perkotaan mengakibatkan jumlah penderita penyakit diare juga lebih banyak daripada di daerah perdesaan. Pada 2004, persentase penduduk perkotaan yang menderita penyakit diare mencapai 5,51%. Sementara itu, di perdesaan hanya 5,03%.

Buruknya sanitasi tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga oleh negara-negara berkembang lainnya. Lebih dari 40% penduduk dunia tidak menggunakan toilet untuk buang hajat. Mereka masih melakukannya di tempat terbuka atau tempat lain yang tidak sehat. Data WHO dan UNICEF menunjukkan di 2004 lebih dari 2 juta penduduk perdesaan di dunia tidak memiliki akses fasilitas sanitasi paling mendasar.

Jangan heran bila sampai saat ini juga diare masih merupakan pembunuh bayi nomor dua setelah pneumonia. Sebanyak 100 ribu anak-anak meninggal setiap tahunnya akibat kasus diare. Menurut data UNESCO, kematian yang diakibatkan diare 2004, enam kali lebih besar jika dibanding dengan rata-rata kematian tahunan akibat perang bersenjata pada 1990-an.

Buruknya sanitasi juga akan berakibat terhambatnya proses pembangunan. Negara akan mengalami kerugian tidak sedikit. Menurut data yang dikeluarkan Bank Dunia sepanjang 2006-2007, Filipina, Kamboja, Vietnam, dan Indonesia mengalami kerugian sekitar US$9juta per tahun akibat sanitasi yang buruk.

Sebaliknya bila keadaan sanitasi lebih baik, keuntungan berlipat akan diterima negara. Sebuah penelitian menunjukkan pembangunan sanitasi di negara-negara Asia akan memberikan keuntungan lima hingga 10 kali lipat dari biaya yang dikeluarkan. Keuntungan utama yang diperoleh dari tersedianya sanitasi yang bagus adalah berkurangnya polusi, meningkatnya tingkat kesehatan, keuntungan ekonomi, dan tentu saja kita akan merasa nyaman hidup di tempat yang berkualitas. (Dudi Herlianto/Litbang Media Group)



Post Date : 22 Maret 2008