Sampai Kapan Warga Harus Berjibaku?

Sumber:Kompas - 06 Desember 2010
Kategori:Air Minum

Pada Sabtu (4/12) siang pukul 14.00 Wita, terik mentari tak membuyarkan ketekunan Nur Aswati (44) untuk menampung air di tepi Sungai Pelawa. Tepatnya di kolong jembatan jalan trans-Sulawesi di Desa Pelawa, Kecamatan Parigi Utara, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.

Nur Aswati bersama ibu-ibu lainnya tidak hirau dengan udara panas tersebut. Mereka lebih fokus pada pengisian tempat penampungan air di rumah mereka.

Di tepi Sungai Pelawa itu, Nur dan warga lainnya duduk di hadapan sebuah lubang kecil dengan diameter sekitar 0,5 meter dan kedalaman 0,5 meter pula. Dari lubang yang seluruh sisi bagian dalamnya diberi batu kerikil tersebut, air jernih muncul. Alirannya tidak lancar. Kira-kira butuh 15 menit hingga setengah jam untuk mengisi penuh satu ember berukuran 3 liter.

Timba demi timba air dimasukkan ke dalam ember. Saat penuh terisi, ember dibawa pulang ke rumah. Setelah itu, berdiam lagi di samping lubang kecil itu dan kembali mengisi ember. Begitu seterusnya.

Sebagian ibu lainnya yang tidak mengambil air mencuci pakaian dan piring kotor di tengah sungai yang airnya tak deras, tetapi tampak jernih. Di bagian sungai lainnya, sekumpulan bocah mandi. Ada juga yang mengambil batu sungai untuk dijual.

Sebenarnya, selain memanfaatkan air sungai, warga juga bisa membuat sumur pompa untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Namun, tidak semua bisa melakukan itu karena biaya pengeboran dinilai mahal, yakni Rp 2 juta-Rp 3 juta untuk kedalaman maksimal 9 meter. Kalau di kedalaman 9 meter tidak mendapat air, pengeboran pun umumnya diperdalam, yang berarti menambah biaya.

Kesulitan mendapatkan air bersih juga dirasakan di tempat lainnya. Di Kelurahan Bantaya, Kecamatan Parigi, misalnya, warga menggunakan air kemasan isi ulang untuk keperluan memasak dan minum.

Di Desa Toboli, Kecamatan Parigi Utara, warga memanfaatkan sumur pompa kendati harus menabung berbulan-bulan untuk biaya pembuatan sumur pompa.

”Biaya yang saya keluarkan untuk membuat sumur pompa sekitar Rp 3 juta. Itu pun kedalamannya hanya 9 meter. Karena banyak warga yang belum bisa membuat sumur pompa, sebagian mengambil air di rumah saya. Memang air bersih di sini sulit. Ada warga yang menggali di kedalaman 30 meter, tetapi belum ada air,” papar Kepala Desa Toboli Tasrun Yunde.

830 desa

Inilah fenomena krisis air bersih di Sulawesi Tengah (Sulteng). Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sulteng Noer Mallo, mengatakan, saat ini lebih dari 830 desa, yang tersebar di seluruh kabupaten di Sulteng, masuk kategori minim ketersediaan air bersih.

Penduduk Sulteng terakhir tercatat 2.480.264 jiwa. Mereka tersebar di 10 kabupaten dan satu kota.

Untuk wilayah pedesaan, hingga kini baru 18,62 persen warga yang bisa menikmati air bersih, baik melalui sistem perpipaan maupun nonperpipaan tetapi terlindungi. Sisanya, yang lebih dari 80 persen, masih memanfaatkan air sungai, air sumur, air hujan, dan sumber air lain untuk kebutuhan air bersih mereka.

Di perkotaan, baru berkisar 47 persen warga yang bisa menikmati air bersih, atau masih ada 53 persen yang belum menikmati air bersih secara layak.

Krisis air bersih ini pulalah yang menjadi salah satu penyebab sejumlah daerah di Sulteng rawan terjangkit diare dan kolera. Di Kabupaten Sigi, sejumlah desa di Kecamatan Palolo terserang wabah kolera pada Februari lalu. Dalam musibah ini, tujuh warga meninggal dunia.

Di Kabupaten Parigi Moutong, sejumlah desa dan dusun di Kecamatan Tomini diserang diare dua bulan terakhir dan menyebabkan 17 warga meninggal dunia.

Sebelumnya, tahun 2007, juga di Kecamatan Tomini, lebih dari 20 warga meninggal dunia akibat kolera.

”Warga masih memanfaatkan air sungai untuk semua keperluan rumah tangga. Padahal, air sungai yang digunakan tidak bersih. Belum lagi sanitasi yang buruk karena warga masih membuang air besar dan mandi di sungai. Ini yang mempercepat penyebaran wabah diare,” kata Kepala Dinas Kesehatan Parigi Moutong Made Priyadi terkait wabah diare sepanjang Oktober-November 2010 yang menyebabkan meninggalnya 17 warga Tomini itu.

Saat ini Dinas Pekerjaan Umum Sulteng memang menjadikan proyek air bersih dalam program prioritas. Dalam kaitan itu, sejumlah mata air dan sungai di pedesaan ditargetkan jadi sumber air bersih warga.

Pemanfaatan mata air, di antaranya, adalah dengan cara membuat bak penampungan di sekitar mata air atau sungai. Setelah itu, air dari bak penampungan itu dialirkan melalui pipa ke rumah-rumah penduduk. Biaya pembuatan bak penampungan dan pemasangan instalasi diperkirakan sedikitnya Rp 200 juta per mata air.

Tahun 2011 mendatang rencananya ada 10 mata air di semua kabupaten yang akan dibuatkan bak penampungannya serta instalasinya. Selanjutnya, secara bertahap, proyek serupa dikerjakan di tempat lainnya, sesuai ketersediaan anggaran.

Warga berharap program air bersih itu bisa segera direalisasikan agar kebutuhan air bersih mereka terpenuhi. Harapan yang tentunya sangat wajar dalam rangka mencegah mewabahnya diare dan kolera.(Reny Sri Ayu)



Post Date : 06 Desember 2010