Sampahmu, Urusanmu

Sumber:Kompas - 04 Juli 2008
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Menyeka keringat dengan tisu, mencuci rambut dengan sampo dalam sachet, membeli penganan berbungkus plastik, sampai sekadar iseng makan kuaci menjadikan setiap orang sebagai ”produsen” sampah. Sampah kini tidak lagi sekadar bermakna kotor karena sudah melahirkan dampak buruk terhadap lingkungan.

Sampah di kota besar sudah jadi masalah yang bagaikan tak terselesaikan. Lebih dari 70 persen responden dalam jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas menyatakan belum memisahkan sampah organik dan anorganik yang mereka ”produksi”. Sekitar 60 persen dari mereka tidak tahu konsep pengelolaan sampah yang dinamakan 3-R (reduce, reuse, dan recycle).

Jajak pendapat ini dilaksanakan pada 29-30 April 2008 dengan mewawancarai 365 responden. Mereka semua warga Jakarta, yang dipilih secara acak melalui buku telepon. Responden yang menyatakan belum memisahkan sampah organik dan anorganik di rumah mereka mencapai 73,2 persen. Alasannya beragam.

Sebagian dari mereka (27,1 persen) menyatakan, pemilahan sampah itu merepotkan. Bahkan ada yang berkata, walau sudah dipilah, toh, akan dicampurkan kembali oleh pemulung. Ada 2,7 persen responden yang menganggap pemisahan sampah organik dan anorganik adalah urusan pengumpul (tukang) sampah.

Kedua jawaban ini boleh jadi cerminan ketiadaan waktu atau mungkin kemalasan mengurus sampah sendiri. Di samping itu, ada (20,5 persen) responden yang mengaku belum tahu cara pemilahan sampah itu, 2,7 persen lagi mengatakan belum ada penyuluhan.

Hanya sebagian kecil (26,8 persen) responden ini yang menyatakan sudah memisahkan sampah organik dan anorganik. Namun, hanya 15,6 persen responden yang menyatakan pemilahan dilakukan atas inisiatif pribadi. Responden lain (6,6 persen) melakukannya karena adanya kewajiban dari lingkungan. Juga ada responden yang menyatakan pemisahan dilakukan agar tempat sampah tidak berbau, sampah bisa dijadikan pupuk, dan ada pula mengatakan pemilahan itu dilakukan anaknya yang menerapkan ajaran di sekolah. Kecilnya persentase warga yang telah memilah sampah tampaknya mengisyaratkan masih terbatasnya kesadaran masyarakat tentang manfaat pemilahan itu.

Pemilahan sampah organik dan anorganik yang termasuk dalam konsep 3R-reduce (mengurangi penggunaan barang yang menghasilkan sampah), reuse (menggunakan kembali barang yang biasa dibuang), dan recycle (mendaur ulang) agaknya masih pada taraf wacana. Konsep 3R, metode pengelolaan sampah yang bertujuan untuk memelihara lingkungan dan dapat diterapkan dengan beragam cara belum ada dalam ”budaya sampah” rumah tangga penduduk Ibu Kota.

Di Jakarta belum terlihat adanya kesadaran reduce, misalnya, mengurangi penggunaan tas atau kantong plastik untuk barang belanjaan. Jika kesadaran ini ada, ia dapat meminimalkan timbunan plastik buangan, yang membutuhkan waktu 300 tahun hingga 500 tahun untuk dapat terurai dengan sempurna.

Plastik hampir tak dapat ditiadakan dalam kehidupan sehari-hari dewasa ini, termasuk aktivitas berbelanja. Ikan hias yang dibeli, misalnya, mengikutkan kantong plastik. Obat dari apotek juga demikian. Toge, kentang, ubi jalar, jeruk, dan entah apa lagi di pasar swalayan dikemas dalam kantong plastik. Bahkan nagasari yang dulu begitu sedap karena aroma daun pisang pembungkusnya, kini ”berbajukan” plastik. Begitu semuanya dikonsumsi, plastik segera berubah menjadi sampah.

Untuk kebutuhan sehari-hari, 51,2 persen responden jajak pendapat ini berbelanja ke pasar tradisional, 27,7 persen ke supermarket, 18,6 persen di pedagang sayur keliling. Namun, ke mana pun mereka berbelanja, pulangnya hampir pasti bersama kantong plastik. Sebagian besar (78,1 persen) responden ini mengandalkan kantong plastik itu sebagai wadah karena mereka tidak membawa tas belanja.

Sebetulnya tidak ada orang yang bebas dari status sebagai produsen sampah. Setiap individu diperkirakan ”menghasilkan” 1-2 kilogram sampah dalam sehari. Catatan Dinas Kebersihan DKI Jakarta pada Juli 2007 menunjukkan bahwa timbulan sampah per hari mencapai 26.945 meter kubik. Jumlah sampah yang setara dengan 6.736 ton itu bukanlah perkara kecil. Hanya sekitar 6.000 ton yang tertanggulangi. Sisanya tersebar di sembarang tempat, di jalan, di kali, di mana saja.

Bantaran Kali Ciliwung antara Tanjung Barat dan Cililitan dapat menjadi bukti bahwa warga Jakarta tidak mengelola sampahnya. Mereka sekadar menjauhkan atau menyembunyikan sampah itu. Di daerah aliran Ciliwung yang hanya 12 kilometer itu, para aktivis pencinta lingkungan yang tergabung dalam Fauna and Flora International (FFI) melakukan penelitian pada Juli 2007 dan menemukan 34 tempat pembuangan sampah ilegal, 22 lokasi di wilayah Jakarta Selatan dan 12 lokasi di Jakarta Timur. Sampah di bantaran sungai ini tidak pernah diangkut dari lokasi itu. Ia dimusnahkan dengan cara dibakar, dihanyutkan warga ke kali, atau hanyut disapu banjir.

Ketiadaan lahan sebagai tempat pembuangan, terbatasnya sarana pengangkut yang disediakan pemerintah kota, harga jual tanah di tepi sungai serta potensi ekonominya yang rendah karena sering kebanjiran dan rawan longsor menjadi alasan menjadikan bantaran sungai sebagai tempat ”menyembunyikan” sampah. Jadilah ia tempat sampah liar.

Pengendalian tempat sampah liar seperti ini tidaklah mudah. Siapa saja bisa membuang sampah di situ. Setelah sampah ini ditumpahkan ke kali atau berjatuhan dari tempat pembuangan ilegal itu, ekosistem sungai pun rusak, banjir begitu mudah terjadi.

Kemampuan tampung tempat sampah liar ini bisa dibedakan menjadi tiga, yaitu kategori 1 (volume sampah 5 m3), kategori 2 (1.000 m3), dan kategori 3 yang menampung sampah lebih dari 5.000 m3 karena lokasinya di tepi sungai, jika banjir datang, sampah itu akan dibawa arus dan volume sampah di bantaran yang rendah akan berkurang dengan drastis (lihat tabel).

Pada zaman adanya kesadaran ”menyelamatkan Bumi” seperti sekarang, agaknya tak ada jalan lain selain mengharuskan setiap orang bertanggung jawab atas sampah yang mereka hasilkan. Kewajiban mengurus sampah sendiri itu diatur oleh Undang-Undang Pengelolaan Sampah yang baru saja disetujui DPR pada Mei 2008. UU Nomor 18 Tahun 2008 itu dibuat untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim akibat rusaknya lingkungan, termasuk gas metan yang bersumber dari sampah. Pemerintah akan mendorong sistem 3R sebagai pengganti open dumping atau tempat pembuangan akhir (TPA) yang banyak diprotes masyarakat.

Sampah adalah barang sisa yang oleh warga sering hanya sekadar dijauhkan dari dirinya. Ke mana sampah itu kemudian pergi, terserah kepada sampah itu sendiri. Jakarta rupanya tidak sekadar kekurangan petugas pembuang sampah, gerobak, dan truk pengangkut, serta lahan tempat pembuangan akhir. Jakarta selama ini sebetulnya juga kekurangan usaha dalam menyadarkan warganya. Kelak jika UU Pengelolaan Sampah sudah berlaku perlu dilihat apakah dapat mengubah keadaan. (BE Julianery/ Litbang Kompas)



Post Date : 04 Juli 2008