|
"Daripada jalanraya Jakarta By-pass diselimuti asap, biarlah Ciliwung yang ditaburi sampah. Rupanya ada pilihan kebijaksanaan pengelola kota yang seperti itu lebih dari tiga dasawarsa yang lampau." Berita satu kolom harian Kompas edisi 4 November 1972 itu melaporkan, Kepala Dinas Kebersihan DKI Jaya Tjetje Rachman akan membuang sampah ke Ciliwung. Kalimat di dalam berita itu berbunyi, "Menurut Antara, Kepala Dinas Kebersihan DKI Jaya Tjetje Rachman mengatakan, sehubungan dengan pembakaran sampah yang membahayakan kelancaran lalu lintas di Jakarta By-pass, bahwa untuk selanjutnya sampah Jakarta tidak akan dibuang lagi ke (tepi) Jakarta By-pass, melainkan ke kali Ciliwung lama." Entah Kepala Dinas Kebersihan DKI Jaya ini mendapat kritik karena gagasannya itu, entah tidak, yang jelas riwayat Ciliwung sebagai penampung sampah adalah kisah panjang yang tiada hentinya. Itu sekaligus cerita buruk yang kian parah hingga kini. Ciliwung adalah salah satu sungai yang melintasi jantung Kota Jakarta. Bagian hulu berada di Telaga Warna, Jawa Barat, sedangkan muara di Teluk Jakarta. Panjang sungai itu sekitar 109 kilometer. Di Jakarta, tepatnya di daerah Manggarai, sungai itu terpecah menjadi dua. Sampai dengan akhir 1970-an, sungai ini dipakai sebagai jalur angkutan untuk bambu yang didatangkan ke Jakarta dari Cibinong, Kabupaten Bogor, untuk diperdagangkan. Bambu itu dipakai untuk rumah semipermanen, tiang tenda, pagar, kerai, atau dianyam jadi gedek. "Pelabuhannya" di kolong jembatan kereta api di ujung Jalan Slamet Riyadi, dekat Manggarai. Pangkalan bambu itu kini masih ada. Namun, sekarang bambu didatangkan ke sana dengan truk. Ciliwung sudah menyempit. Di Kampung Pulo, Kecamatan Jatinegara, misalnya, hingga tahun 1985 lebar alur sungai itu masih 30 meter, tetapi kini tinggal 10 meter. Bambu tidak dapat lagi dihilirkan di Ciliwung. Penyempitan alur sungai tentu saja memperkecil daya tampungnya. Jika kemarau berlangsung lama, debit air Ciliwung hanya lima meter kubik per detik. Dalam kondisi normal, alur di Kampung Pulo hanya mampu menampung 200 meter kubik per detik. Padahal, pada saat hujan, air yang mengalir paling sedikit 400 meter kubik per detik. Keranjang sampah Lintasannya yang membelah Kota Jakarta, membuat Ciliwung harus mendukung beban kian berat yang ditimbulkan manusia Ibu Kota yang kian lama kian padat. Makin ke hilir atau makin dekat ke laut, alur sungai makin menyerupai keranjang sampah. Itulah yang terlihat dalam perjalanan menyuruk-nyuruk, mengikuti aliran sungai ini dari bawah jembatan dekat markas Resimen Induk Kodam Jaya (Rindam Jaya) di Tanjung Barat hingga pintu air Manggarai, Sabtu (9/12). Berhanyut-hanyut sejauh 16 kilometer selama empat jam dengan perahu karet milik Global Rescue Network, adalah "pelayaran" melintasi kolong beberapa jembatan, melewati rumah- rumah semipermanen yang rapat seperti flat, dan puluhan rakit kakus di tepi sungai. Dengan berperahu di Ciliwung, siapa saja dapat melihat dari dekat betapa air sungai yang kecoklatan itu masih mengalir "damai" di bawah kerimbunan pohon akasia, melinjo, kapuk, dan juga nangka di tepi alur sekitar 300 meter dari Tanjung Barat. Sesudah itu, kian ke hilir air itu kian coklat, makin pekat, berbuih, dan berbau. Sungai penuh dengan segala jenis sampah, dan juga tinja manusia, terlebih-lebih di alur yang di kiri kanannya terdapat permukiman padat seperti di Kampung Melayu, Bukit Duri, hingga ke Manggarai. Mesin Mercury 30 HP perahu karet seberat 97 kilogram belasan kali mati karena baling-balingnya dililit kantong plastik yang mendominasi jenis sampah di alur kali itu. Bagi sebagian orang, terutama bagi warga yang bermukim di kedua sisi bantaran sungai, tidak ada masalah dengan keadaan Ciliwung seperti itu. Sungai tetap menjadi andalan bagi kehidupan mereka. Air sungai di banyak tempat dipakai untuk mencuci pakaian dan mandi. Panci, piring, dan sendok dibasuh dengan air itu. Bagi anak-anak, Ciliwung adalah "kolam renang". Tumpukan sampah di pinggir menjadi "papan loncat" untuk mencebur ke air, berenang bersama sampah yang mengapung. Di belukar di kiri kanan Ciliwung ada pohon "berbuah" botol plastik, perca kain tua, dan kantong plastik yang berisi sampah. Semuanya bergantungan di dahan, tersangkut setelah dilemparkan si pembuang sampah dari atas tebing bantaran. Di antara tumpukan sampah di tepi sungai juga dijumpai kasur dan sofa bekas. Pun ada potongan tiang pancang yang tampaknya sengaja digulirkan dari tepi jalan. Di kawasan Bukit Duri dan Manggarai, berbaris kakus apung bersebelahan dengan tong kedelai yang akan diolah jadi tahu dan tempe. Miliaran rupiah Gagasan yang menginginkan Ciliwung bersih, tumbuh dari kenyataan Ciliwung yang kian kotor itu. Namun, upaya untuk membebaskan sungai ini dari barang buangan, seperti Program Kali Bersih (Prokasih) yang dilaksanakan sejak 1989, tidak membuahkan hasil. Kebijaksanaan penataan ruang kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) melalui Keputusan Presiden Nomor 79 Tahun 1985, dan diperbarui dengan Keppres No 114/1999, dengan tujuan menetapkan daerah itu sebagai kawasan konservasi air dan tanah, antara lain dimaksudkan untuk menjaga kelestarian Ciliwung. Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim pada tahun 1990 pernah "bermimpi indah" bahwa jika koordinasi, keserasian kebijakan, dan konsistensi dipadukan, Ciliwung yang masuk kategori sungai kelas Asungai yang melintasi dua provinsi, Jawa Barat dan DKI Jakartabaru akan bersih dari pencemaran sekitar tahun 2000. Kini tahun 2006, alih-alih bersih Ciliwung tetap seperti dulu. Airnya masih keruh, dan tumpukan limbah yang terlihat, menunjukkan keadaan yang makin parah. Setiap tahun, Pemerintah Provinsi DKI harus "membuang" uang untuk mengangkut barang buangan manusia dari sungai. Ciliwung adalah salah satunya. Untuk membersihkan sungai dari sampah, pada tahun 2004 Pemprov DKI mengeluarkan Rp 18,5 miliar. Volume sampah yang dibereskan 216.261 meter kubik. Tahun berikutnya, volume sampah yang dikeduk kian besar. yakni 320.167 meter kubik, dan biayanya pun makin tinggi, Rp 22,8 miliar. Pada tahun ini, untuk membersihkan sungai dari sampah dianggarkan dana Rp 22,5 miliar. Volume sampah yang harus dibuang diperkirakan lebih dari 231.000 meter kubik. Menurut Sihar Simanjuntak, pimpinan Subpelaksana Wilayah Tengah Ciliwung, salah satu cara yang ditempuh untuk membebaskan sungai dari sampah adalah normalisasi. Normalisasi alur sungai, dengan lebar 30 meter di bagian bawah dan 50 meter di bagian atas, bertujuan untuk mengembalikan fungsi sungai sebagai saluran untuk air, bukan sebagai tempat sampah. Normalisasi juga meliputi kegiatan menata bantaran sungai sehingga daerah itu bebas hunian liar. Untuk Ciliwung, normalisasi yang sudah dilakukan, misalnya, antara jembatan Kampung Melayu hingga di Kampung Bara Casablanca, sepanjang 1.150 meter. Namun, kegiatan itu kini terhenti karena masalah pembebasan tanah. Warga yang tergusur menuntut uang penggantian di atas nilai jual obyek pajak (NJOP). Membebaskan bantaran sungai dari hunian liar adalah salah satu persoalan di antara berbagai masalah rumit menata Kota Jakarta. Di Jakarta Selatan, misalnya, ada 5.120 bangunan liar di bantaran sungai dengan 8.019 keluarga sebagai penghuninya. Ada lagi 5.404 bangunan dengan 7.161 keluarga di Jakarta Timur. Bahkan, di Jakarta Pusat masih ada 557 bangunan liar di bantaran sungai bersama 910 keluarga sebagai penghuni. Tidak berarti Jakarta Utara dan Jakarta Barat bebas dari masalah itu. Hampir pasti bahwa warga bantaran kali menjadi kontributor pencemaran. Namun bukan hanya mereka yang membuat kelestarian Ciliwung dan sungai- sungai lainnya menjadi rusak. Kesadaran lingkungan dan disiplin warga kota yang buruk adalah sumber semua pencemaran itu. Di Jakarta tak pernah ada kebanggaan pada Ciliwung dan tak ada semangat bersama untuk memeliharanya. Karena itu, jika sekarang "aku buang sampahmu yang kau buang ke Ciliwungku", sejurus kemudian "kau buang lagi sampahmu yang berikutnya ke Ciliwungku yang sebetulnya adalah juga Ciliwungmu".BE Julianery Litbang Kompas Post Date : 21 Desember 2006 |