DINI hari di tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah, Bandung, 21 Februari 2005. Hujan tumpah dari langit. Warga setempat lelap dibuai mimpi. Tiba-tiba tumpukan sampah yang tingginya mencapai 60 meter, lebar 200 meter, dan panjang 375 meter itu ambrol akibat guyuran hujan. Sampah menggelinding sejauh hampir satu kilometer, bagaikan tsunami yang menerjang setiap hadangan. Dalam hitungan menit, hampir 200 orang tewas dan 61 rumah di Kampung Cilimus dan Kampung Pojok Cireundeu tertimbun sampah.
Ketika itu Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat mengakui telah terjadi kekeliruan dalam pengelolaan. "Kami melihat sampah di Leuwigajah terkesan dibiarkan," katanya. Sistem pengelolaan TPA menggunakan teknologi yang sangat tertinggal, yaitu open dumping alias ditumpuk begitu saja. Saluran udara yang digunakan untuk membuang gas dari sampah pun tak terurus. Air lindi juga membuat air sumur warga menjadi terasa manis.
Bencana Leuwigajah yang mengenaskan itu membuat Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar tergerak. Ia mengusulkan tanggal bencana Leuwigajah itu sebagai Hari Sampah Nasional, yang diperingati setiap tahun. Tapi, saban tahun diperingati, dan anggaran terus ditambah, masalah sampah ternyata tak pernah habis, terutama di perkotaan. Sampah bahkan kerap memicu kisruh, seperti yang terjadi di Tangerang Selatan, Banten. Dalam dua bulan terakhir ini, penduduk kota yang baru lepas dari induknya, Kabupaten Tangerang, itu kesulitan membuang sampah.
Di Pasar Ciputat, kawasan paling padat lalu lintas di Tangerang Selatan, gunung sampah berjajar di sepanjang jalan. Bau busuk bahkan menembus kabin mobil berpenyejuk udara. Hanya ada sebuah truk pengangkut dengan seorang sopir dan dua kernet. Meski truk sudah dipenuhi sampah, masih lebih banyak yang terserak. Yang terangkut pun tak jelas hendak dibuang ke mana. "Di mana ada tempat kosong dan bisa buang sampah, pasti kami kejar, asal masih di Tangerang Selatan," kata sopir, Mumung.
Menurut Mumung, 35 tahun, ia pernah membuang sampah secara diam-diam di TPA Jatiwaringin milik Kabupaten Tangerang atau Rawakucing milik Kota Tangerang. Bahkan dia juga pernah diam-diam membuangnya di Sawangan, Depok; dan Bogor. "Itu belum termasuk TPA liar," katanya. Untuk membuang sampah ke "wilayah orang", Mumung harus kucing-kucingan dengan petugas TPA, bahkan beberapa kali harus melarikan diri dari kejaran polisi pamong praja setempat.
Masalah sampah Tangerang Selatan sudah berlangsung hampir dua bulan. Sejak awal tahun, Pemerintah Kabupaten Tangerang menyatakan tidak melayani lagi pengangkutan sampah Tangerang Selatan serta melarang pengangkutan sampah dari kota itu ke TPA Jatiwaringin milik Kabupaten Tangerang. Tak cuma itu, empat puluh truk pengangkut sampah milik kabupaten yang sebelumnya beroperasi di Tangerang Selatan juga ditarik.
Kini, dengan sembilan truk minus TPA, Tangerang Selatan terancam menjadi lautan sampah. Dengan 1,2 juta penduduk, Tangerang Selatan menghasilkan 700 kubik sampah per hari. Meski sampah sudah dibuang ke sana-sini, tumpukan sampah yang ada di sejumlah titik di wilayah itu, seperti Pasar Ciputat, Pasar Serpong, Pasar Cimanggis, dan Pasar Jombang, tak berkurang. Sampah menumpuk dan berserakan hampir di sudut kota, pinggiran dan median jalan, juga kolong jembatan.
Di Pasar Ciputat, misalnya, sampah menumpuk dengan ketinggian hingga empat meter. Tumpukan sampah sudah memenuhi badan Jalan Arya Putra sehingga satu jalur tertutup. Kondisi ini tentu saja mengganggu aktivitas pedagang dan pengunjung pasar. "Pedagang marah karena sampah yang tidak tertangani," kata Odih, Kepala Pasar Ciputat. Menurut dia, para pedagang ngambek dan tidak mau membayar iuran wajib harian dan bulanan sebelum masalah sampah teratasi.
Sampah yang tak segera ditangani tentu akan menjadi problem besar yang langsung dirasakan masyarakat. Dalam hitungan hari, kesembronoan mengurus sampah langsung berakibat berbarisnya gunungan sampah di jalan-jalan. Sampah menguarkan bau busuk dan air lindi yang menusuk hidung, mengundang penyakit, serta mematikan mata pencarian sebagian orang. Lebih buruk lagi, gunungan sampah di tempat pembuangan akhir, yang tidak cuma merusak lingkungan, bisa menjadi bencana bagi warga sekitarnya.
Kepala Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman Tangerang Selatan Didi Supriadi Wijaya mengaku belum bisa optimal mengatasi masalah sampah. "Selain tidak punya tempat pembuangan, armada yang minim, masalah anggaran menjadi penyebabnya," ujarnya.
Gara-gara sampah pula, mimpi meraih penghargaan lingkungan Adipura dipastikan buyar. "Kalau sampah tak tertangani, penilaian bisa terpuruk, bisa jadi kota terkotor," kata Mohammad Isa, pejabat Badan Lingkungan Hidup Tangerang Selatan.
Sampah tak hanya jadi momok di Tangerang Selatan, tapi juga kota besar lainnya. Di Surabaya, Dinas Tata Ruang Kebersihan dan Pertamanan kelimpungan karena tempat pembuangan akhir Klotok sudah kelebihan kapasitas. Sampah terus masuk, tapi dibiarkan menggunung. Di Medan dan Samarinda, ihwal daya tampung TPA juga menjadi penyebab utama. Di Bojong, Kabupaten Bogor, rencana pembukaan TPA malah menimbulkan konflik sosial.
Masalah dan konflik yang muncul tak lepas dari pengelolaan sampah, yang cuma dianggap sebagai limbah dan harus dibuang jauh-jauh. Yang dilakukan pun tak lebih dari mengumpulkan, mengangkut, dan membuang sampah sejauh mungkin. Pemerintah daerah pun sibuk mencari lahan pembuangan, yang kian terbatas, terutama di perkotaan. "Padahal cara ini menimbulkan masalah dan biaya sangat tinggi," kata Asisten Deputi Pengendalian Limbah Domestik Kementerian Lingkungan Hidup Tri Bangun Laksono.
Menurut Tri, pembuangan sampah ke TPA berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan. Tumpukan sampah menimbulkan pencemaran udara, air, dan tanah. Kondisi ini sangat berbahaya bagi warga sekitar. Karena itu, Kementerian Negara Lingkungan Hidup menyerukan untuk mengubah cara pengelolaan sampah, yang selama ini dibuang, sebagai sumber daya yang bisa diolah menjadi energi atau pupuk. "Ini akan mengendalikan pencemaran," katanya.
Perubahan cara pengelolaan sampah itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008. Dengan berlakunya beleid tersebut, semua TPA yang menggunakan sistem penimbunan sampah akan ditutup paling lambat pada 2013. TPA tidak lagi diperlukan karena sampah dikelola dengan 3R, yaitu reduce, reuse, recycle (mengurangi, menggunakan ulang, dan mendaur ulang). Dengan demikian, yang ada kelak adalah tempat pengelolaan sampah yang bersih dan tertutup.
Untuk mendukung pengelolaan sampah dengan cara baru itu, Kementerian Lingkungan Hidup sedang menyiapkan metode penghitungan sampah yang tepat untuk mengetahui jumlah sampah yang dihasilkan di satu wilayah. Menurut Pelaksana Harian Bidang Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup Ujang Solikhin, data yang dipakai selama ini adalah 800 gram sampah per kapita, lalu dikalikan jumlah penduduk. "Itu data hasil penelitian sepuluh tahun lalu," katanya. Data itu harus diperbaiki karena menjadi acuan dalam penentuan dan anggaran pengelolaan sampah. Adek Media, Joniansyah (Tangerang Selatan)
Post Date : 28 Februari 2010
|