Kampung padat di wilayah Kecamatan Kraton, Yogyakarta, itu sungguh bersih. Tak ada ceceran sampah. Suasananya nyaman dan menyenangkan.
Kampung Gamelan Kidul yang masuk wilayah RW 6, Kelurahan Panembahan, itu salah satu kampung yang mayoritas warganya mengelola sampah mandiri dengan prinsip 3R, yakni reduce (mengurangi), reuse (pakai ulang) dan recycle (daur ulang).
"Dengan pengelolaan sampah yang dilakukan sejak 2007, kami menekan pembuangan sampah hingga 50 persen," ujar koordinator komunitas warga pengelola sampah Gamelan Kidul, Kirtijadi, saat ditemui Senin (22/2). Dari 117 keluarga, sebanyak 90 keluarga anggota komunitas "Uwuh Sentana".
Uwuh Sentana berarti sampah yang diperlakukan seperti saudara. "Masyarakat diajarkan tidak menganggap sampah sebagai momok, tetapi saudara yang jika dikelola baik akan menguntungkan," kata Kirtijadi, yang juga Ketua Jejaring Pengelola Sampah Jogjakarta (Jari Polah).
Di Gamelan Kidul, setiap rumah memiliki dua unit komposter cair dan kering untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos. Untuk sampah nonorganik disediakan tiga plastik pemilah tiga jenis sampah, yakni kertas, plastik, dan logam/kaca.
Hasilnya, ada kompos yang dijual kepada petani Rp 2.000 per kg, ada juga yang dipakai untuk keperluan sendiri. Mengenai sampah plastik dibuat kerajinan, seperti tas dan sarung HP. "Untuk sampah kertas dan logam/kaca, setiap tiga bulan dijual ke pengepul. Hasilnya dipakai untuk kegiatan pemuda seperti olahraga," kata Kirtijadi.
Di Kampung Sukunan, Banyuraden, Gamping, Sleman, pengelolaan sudah lebih maju. Pengolahan sampah di tempatnya menekan residu (sampah tak terpakai) hingga tersisa 10 persen. "Warga kami praktis tak membuang sampah lagi," ujar Koordinator Kampung Sukunan Iswanto.
Sebanyak 90 persen sampah dari 312 keluarga di kampung itu dimanfaatkan ulang menjadi berbagai produk, mulai dari kompos, kerajinan, batako, hingga pembalut wanita. "Hasil pengolahan sampah yang dijual mencapai Rp 500.000-Rp 1,5 juta per bulan yang masuk ke kas RW," ujar Iswanto, yang juga Ketua Kelompok Jejaring Pengelola Sampah Mandiri DIY.
Namun, keuntungan terbesar adalah warga tidak perlu lagi membayar retribusi pengangkutan sampah Rp 15.000 per bulan per keluarga. Kalau dihitung-hitung, total uang yang dihemat warga dalam setahun mencapai lebih dari Rp 56 juta. Padahal, penerapan pengolahan sampah baru dilakukan tahun 2003.
Kampung Gamelan Kidul dan Sukunan memberi pelajaran berharga bahwa suatu masalah bisa diubah menjadi hal positif, hanya dengan mengubah sedikit perilaku kita. Sampah yang bagi kebanyakan orang dianggap "musuh" yang mesti disingkirkan justru bisa menjadi "saudara" yang menguntungkan. Kapan giliran Anda? (ENG)
Post Date : 23 Februari 2010
|