|
SURABAYA secara perlahan bakal menyamai Kota Jakarta. Dari segi pembangunan, kota berpenduduk 3,3 juta ini tidak mau kalah dengan kota besar lainnya. Tidak salah jika orang menyebut Surabaya, kota besar kedua setelah Jakarta. Sebagai kota metropolitan, tentu membawa konsekuensi dengan semakin banyaknya persoalan-persoalan yang bisa mengganggu jalannya pembangunan dan perkembangan kota. Banjir, misalnya, kini sudah menjadi langganan Kota Surabaya tiap kali musim hujan tiba. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sudah mengucurkan puluhan miliar rupiah untuk menanggulangi banjir. Tapi, hasilnya masih jauh dari harapan masyarakat. Kawasan Jl Mayjen Sungkono, Jl Indragiri, Jl Raya Darmo, dan sebagian kawasan Surabaya Barat, selalu menjadi langganan banjir. Tidak hanya banjir, persoalan lain yang dinilai sangat mengganggu adalah penataan pedagang kaki lima (PKL). Wali kota bisa bernapas lega ketika berhasil menyingkirkan ratusan pedagang VCD di kawasan Tunjungan Center. Wali kota bisa tersenyum ketika bisa membangun kawasan perbelanjaan modern Darmo Trade Center. Tapi, wali kota harus prihatin karena masih banyak PKL yang tidak tertangani dengan baik, sehingga Surabaya yang awalnya kota terbersih kini terlihat kumuh. Hal itu bisa dilihat di kawasan eks Mangga Dua. Kawasan yang seharusnya menjadi kawasan perkantoran, kini berubah menjadi pasar dadakan. Pada gilirannya kemacetan di kawasan tersebut tidak bisa dihindari. Pemandangan yang sama juga terjadi di kawasan Pasar Keputran. Ribuan pedagang sayur-mayur lebih senang berdagang di luar daripada di dalam pasar. Akibatnya, Jl Keputran yang seharusnya untuk jalan umum kini berubah menjadi pasar. Belum lagi soal sampah. Kota yang pernah menyabet predikat kota terbersih di Indonesia, kini semakin merana. Banyak sampah menumpuk di berbagai sudut kota karena Tempat Penampungan Akhir (TPA) Benowo secara perlahan tidak mampu lagi mengatasi masuknya sampah dari Surabaya, yang tiap hari mencapai 8.000 meter kubik. Karena tidak mampu menampung sampah, maka warga memilih membuang sampah sembarangan. Jika ada lahan kosong dan tidak berpenghuni, warga menjadikan tempat itu sebagai tempat pembuangan sampah. Persoalan yang tidak kalah pentingnya adalah makin menjamurnya pekerja seks komersial (PSK) yang mangkal di kawasan segitiga emas Embong Malang, Panglima Sudirman, dan Jl Gubernur Suryo. Tiap malam puluhan wanita berpakaian minim menggoda setiap pengguna jalan di kawasan tersebut. Wajah Surabaya jika malam hari tak ubahnya sebagai 'kota pelacur'. Upaya pemkot menertibkan mereka selalu saja gagal karena informasi selalu bocor. Banjir, sampah, PKL, dan PSK menjadi masalah. Tapi, persoalan baru lagi adalah makin merebaknya gelandangan dan pengemis yang menyebabkan wajah kota menjadi buruk. Mereka tidak hanya praktik dari pintu ke pintu, melainkan praktik di perempatan jalan untuk mencari nafkah. "Masih banyak persoalan yang harus diselesaikan wali kota untuk menata kota ini jauh lebih baik. Wali kota harus memprioritaskan masalah seperti banjir, PKL, dan sampah," kata tokoh masyarakat Surabaya, Aunir Rofig. Ini semua menjadi pekerjaan rumah Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono. Laporan pertanggungjawaban yang disampaikan di hadapan anggota Dewan, hendaknya dicermati apakah sudah menyentuh persoalan-persoalan tersebut. Faishol Taselan/N-1 Post Date : 20 April 2004 |