|
Bekasi, Kompas - Pemanfaatan sekitar 6.000 ton sampah warga DKI Jakarta yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) Bantar Gebang, Bekasi setiap harinya menjadi produk yang lebih bernilai ekonomis hingga kini masih minim. Padahal, dalam banyak hal sampah memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi jika diolah kembali menjadi berbagai barang daur ulang atau pupuk organik sehingga membuka peluang bagi pemberdayaan pemulung dan masyarakat sekitar.Keprihatinan akan gunungan sampah di TPA Bantar Gebang yang belum dilirik sebagai potensi ekonomi itulah yang mendorong PT Godang Tua Jaya mendirikan pabrik kompos di lahan seluas 13 hektar milik perusahaan yang berdekatan dengan lokasi pembuangan sampah warga DKI. Setiap hari sebanyak 300 ton sampah organik dari Pasar Induk Kramatjati, Jakarta yang dibuang ke TPA Bantar Gebang diolah menjadi 50 ton pupuk kompos yang sangat berguna untuk peningkatan produksi pertanian. "Perusahaan ini sudah membuat nota kesepahaman dengan Dinas Kebersihan DKI selama satu tahun mengenai pemanfaatan sampah dari Pasar Induk Kramatjati untuk dipakai menjadi bahan baku pembuatan kompos yang diproduksi PT Godang Jaya Tua Farming. Sebanyak 300 ton sampah DKI setiap harinya tidak dibuang begitu saja di zona yang ada sehingga bisa mengurangi tumpukkan dan dampak polusi sampah meskipun jumlahnya masih minim," kata Direktur PT Godang Jaya Tua Farming Douglas J Manurung saat meninjau pabrik kompos di Desa Ciketing Udik, Pangakalan 5, Bantar Gebang, Rabu (3/11). Pendirian pabrik kompos dengan investasi perusahaan sebesar Rp 4 milyar itu juga bekerjasama dengan Kantor Kementrian Lingkungan Hidup, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dan Dinas Kebersihan DKI. Sejak beroperasi bulan Juli lalu, sedikitnya 100 warga asli yang tinggal di sekitar TPA Bantar Gebang direkrut menjadi tenaga kerja dengan gaji Rp 20.000 per hari. Adapun pupuk kompos dijual seharga Rp 400 per kilogram. "Jika memang pemerintah punya political will untuk mengembangkan penggunaan pupuk organik, kehadiran investor untuk mengolah sampah menjadi kompos tentu cukup besar. Ini kan bisa membantu peroalan sampah yang selama ini cukup pelik. Apalagi dari kebutuhan 10 juta ton pupuk organik per tahunnya hanya bisa dipenuhi baru 60.000 ton dari dalam negeri," kata Manurung. Pihaknya, kata Manurung, mengharapkan dukungan dari Pemprov DKI untuk bisa lebih meningkatkan produksi kompos. Bagi DKI sendiri, ke depannya sampah tidak lagi jadi masalah karena sudah diolah menjadi produk yang bermanfaat, selain membuka lapangan kerja baru. "Tapi sayang, dukungan DKI masih belum ada," ujarnya.Anggota Tim Konsultan Independen TPA Bantar Gebang dari Universitas Islam'45 Bekasi Nandang Najmulmunir mengatakan Pemprov DKI saat ini seharusnya tidak hanya sibuk memikirkan bagaimana menyediakan lokasi pembuangan sampah yang bisa menampung sampah warganya, tetapi sudah perlu memiliki skenario dan kebijakan jangka panjang untuk mengelola sampah yang dimulai langsung dari sumbernya. "Jika tumpukan sampah di TPA Bantar Gebang dibiarkan begitu saja, sementara DKI terus saja ingin membuang semua sampahnya ke sana, umur TPA tidak akan panjang. Malah bisa semakin merusak lingkungan. Pembuangan sampah secara sanitary landfill tidak akan menyelesaikan masalah tanpa ditangani secara bijak. Cara satu-satunya ya dengan recycling sampah di sana," kata Nandang. Menurut Nandang, sudah saatnya Pemprov DKI melakukan pemetaan sumber-sumber sampah di wilayahnya sendiri sehingga bisa menentukan pengolahan sampah yang tepat, seperti mana sampah yang cocok untuk dimusnahkan dengan cara incenerator, sanitary landfill, atau dimanfaatkan menjadi kompos. Tidak ada salahnya jika DKI juga mengajak pihak pengembang perumahan, industri, atau masyarakat umum mulai mau menangani sampahnya sendiri dengan teknologi sederhana atau modern yang tersedia, sehingga semua sampah DKI dibuang ke tempat lain di luar wilayahnya. (ELN) Post Date : 04 November 2004 |