|
Jakarta, Kompas - Ribuan ton sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sementara di rawa-rawa di kawasan Cilincing, Jakarta Utara, dengan sistem open dumping atau ditimbun tanpa pengelolaan yang tepat, dikhawatirkan menimbulkan tragedi nasional. Penumpukan sampah yang diperkirakan berlangsung selama 4-6 bulan itu akan menyebabkan pencemaran air laut hingga menyebabkan kehidupan biota laut terancam. Pendapat tersebut diungkapkan Anggota Komisi D bidang Pembangunan DPRD DKI Tjuk Sudono di Jakarta, Selasa (6/1), setelah mencermati kebijakan Gubernur DKI Sutiyoso pasca penutupan TPA Bantar Gebang, Bekasi. Hingga saat ini, sampah warga Jakarta yang diperkirakan berjumlah sekitar 6.250 ton per hari itu dibuang ke TPA sementara di Cilincing. Sampah itu sekadar digunakan untuk menguruk lahan yang luasnya mencapai 14 hektar. Tjuk menjelaskan, sistem open dumping sangat tidak ramah lingkungan, apalagi kawasan Cilincing itu dekat dengan pantai Jakarta. "Sistem itu sangat primitif, sehingga negara-negara di dunia sudah meninggalkan sistem itu," ujar Tjuk. Ia menuturkan, sistem open dumping secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan biota laut. Sebab, limbah cair (licit) yang dihasilkan atau terbawa oleh ribuan ton sampah itu dibiarkan masuk ke tanah. Limbah itu menghasilkan toksit (zat beracun). Akibatnya, rembesan zat beracun yang masuk ke dasar tanah, mencemari air tanah hingga air laut akan menyebabkan kematian biota laut. Tjuk menyebutkan, sampah yang tidak dipilah-pilah antara organik dan an-organik terlebih dahulu itu sama saja membiarkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), seperti merkuri, air raksa, dan zat kimia lainnya akan berdampak buruk bagi lingkungan sekitar. Akibatnya, Pemprov DKI harus mengeluarkan biaya rehabilitasi lingkungan dan sosial yang sangat besar. "Biaya itu tentunya akan ditanggung oleh warga Jakarta melalui sektor pajak, retribusi, dan sebagainya," ujar Tjuk. Ia menuturkan, solusi sementara yang sangat mendesak dilakukan adalah mencegah licit masuk ke dalam tanah. Rawa yang dijadikan lahan untuk membuang sampah itu sebaiknya dikeringkan terlebih dahulu. Bukan langsung ditimbun sampah. "Lahan itu harus dilapis terlebih dahulu dengan media khusus, entah plastik atau bahan pelapis lainnya, agar limbah cair yang dibawa tumpukan sampah tidak langsung merembes," jelas Tjuk. Tentang ancaman limbah B3, Lukas Laksono Adhyakso, Coordinator Southeast Asia Toxics Program di World Widelife Fund (WWF) for Nature Indonesia juga mengungkapkan hal yang sama. Lukas mengatakan, pembuangan sampah ke rawa-rawa memiliki dampak lebih parah. Air lindi sampah yang mengandung bakteri dan zat kimia beracun akan cepat meresap ke air tanah. Air yang ada di rawa-rawa akan lebih cepat mengantarkan zat-zat beracun itu ke air tanah. Menurut Lukas, sebelum mencari lahan baru untuk membuang sampah dengan sistem sanitary landfill atau open dumping, Pemprov DKI seharusnya memikirkan dulu soal sistem pembuangan sampah secara keseluruhan. Upaya yang dilakukan warga untuk memilah-milah sendiri sampahnya dirasakan sia-sia. Pasalnya, sampah yang sudah dipilah itu pada akhirnya akan bercampur kembali antara sampah organik dan an-organik pada saat diangkut petugas Dinas Kebersihan. Gubernur Sutiyoso yang ditemui secara terpisah mengatakan, dampak lingkungan dan sosial dari sistem open dumping sudah diperhitungkan. Teknik pembuangan sampah itu hanya bersifat darurat, sambil menunggu selesainya pembangunan TPA alternatif, seperti di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bojong (Kabupaten Bogor) dan Rorotan (Jakarta Utara). "Saya berharap, TPA alternatif itu selesai dalam jangka waktu empat bulan. Selain itu, saya masih memberi kesempatan Pemerintah Kota Bekasi mengubah kebijakan pengelolaan sampah itu. Batas waktunya, empat bulan," ujar Sutiyoso. Tidak Peduli Sementara itu, Pemkot Bekasi tampaknya tidak peduli dengan sikap Pemprov DKI Jakarta yang tetap menutup pintu TPA Bantar Gebang. Wakil Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad, seusai sidang paripurna pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bekasi 2004 di gedung DPRD Kota Bekasi, Selasa kemarin, mengatakan, Terserah DKI Jakarta. Mau membuang sampah di sini atau tidak, itu urusan mereka." Mochtar menyebut, jika Pemprov DKI tidak membuang sampah lagi ke TPA Bantar Gebang, sebetulnya hal itu sudah sesuai dengan kesepakatan. Mengenai kewenangan Pemkot Bekasi dalam mengelola sampah, Mochtar mengatakan bahwa pelimpahan pengelolaan sampah di TPA Bantar Gebang dari Pemprov DKI ke Pemkot Bekasi sudah sah sejak tanggal 31 Desember 2003. Bekasi bebas menentukan pengelolaan TPA selanjutnya, terlepas DKI Jakarta mau membuang sampah atau tidak," kata Mochtar. Mochtar kembali menegaskan, permasalahannya bukan terletak pada tutup atau tidaknya TPA Bantar Gebang, melainkan soal pencemaran lingkungan yang terjadi di sana. Karena itu, Pemkot Bekasi mendatangkan investor dan ahli lingkungan hidup untuk meneliti tingkat pencemaran lingkungannya. Dua investor yang ditunjuk untuk mengolah sampah di TPA Bantar Gebang dan TPA Sumur Batu adalah PT Trimitra Buanawahana Perkasa dan PT Indonusa Asri Aliansi. Mereka akan mengolah sampah menjadi kompos, pupuk organik, atau bahan daur ulang lainnya. Mengenai retribusi sampah Jakarta yang ditentukan sebesar Rp 85 ribu per ton, Mochtar menyatakan, saat ini sebetulnya retribusi itu sedang dibahas DPRD Kota Bekasi. Peraturan daerah soal sampah itu masih digodok," kata Mochtar. Secara terpisah, Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol DKI Muhayat mengatakan, peningkatan jumlah retribusi itu sangat mengejutkan dan tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Apalagi, kata Muhayat, pemberitahuan itu dilakukan justru oleh Wakil Wali Kota Bekasi Mohamad Mochtar melalui faksimil. "Gubernur Sutiyoso kecewa atas keputusan sepihak yang tidak sesuai dengan isi kesepakatan," ujar Muhayat. Terbengkalai Dari pengamatan, penutupan TPA Bantar Gebang oleh Pemerintah DKI Jakarta membuat sampah di Kota Bekasi terbengkalai. Tumpukan sampah terlihat di jalan utama, seperti Jalan Ir H Juanda, Cut Meutiah, dan Veteran. Sampah yang dibungkus dengan karung dan kantong plastik itu umumnya sudah meluber dari tempatnya semula. Meski demikian, tumpukan sampah itu sudah menimbulkan bau busuk. Sampah itu tampkanya mulai mengeluarkan limbah cair. Ribuan lalat beterbangan di sekitar sampah itu. Untuk menghindari bau yang tidak sedap itu, para pengguna jalan yang melintas kawasan itu terlihat menutup hidung dan mulutnya. Ada juga yang berjalan secara terburu-buru untuk menghindari tumpukan sampah itu. Kondisi serupa terjadi di sekitar Pasar Baru, Bekasi. Tumpukan sampah dari sisa-sisa sayuran dan buah tercecer di sepanjang jalan. Bahkan, di beberapa tempat penampungan sementara yang bersebelahan dengan kios-kios pedagang, sampah busuk telah menumpuk. Agar tumpukan sampah tersebut tidak masuk ke kios-kios, beberapa pedagang menghalangi sampah itu dengan menggunakan papan berukuran besar. Deretan truk yang seharusnya mengangkut diangkut sampah ke TPA Sumur Batu terlihat berjejer di tepi Lapangan Multiguna, Bekasi. Sampah dalam truk itu ditutup kain terpal. Akan tetapi, bau busuk tetaplah tidak berkurang. Limbah cair terlihat mengalir sedkit demi sedikit dari celah-celah tumpukan sampah itu. Di bawah truk, binatang belatung tampak berceceran. (K11/IND/OSA) Post Date : 07 Januari 2004 |