Sampah Tak Selalu Tersia

Sumber:Majalah KPS - 30 September 2008
Kategori:Sampah Jakarta

Silang pendapat antara Walikota Bekasi Mochtar Mohamad dan DPRD Kota Bekasi berkaitan perpanjangan kontrak pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Bantar Gebang mungkin tak akan terjadi, jika saja Pemprov DKI berhasil memanfaatkan gunungan sampah di TPA tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi warga, semisal kompos atau energi listrik.

Pemprov DKI Jakarta memang berniat mengubah produksi sampah yang mencapai 5.000 ton per hari di Jakarta menjadi energi listrik 150 megawatt. Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna. Menurutnya, sudah ada 24 perusahaan nasional yang bermitra dengan perusahaan asing berniat menjadi pengelola sampah itu.

Listrik yang dihasilkan dari tumpukan sampah itu, kata Eko, akan dijual ke PLN. Hasil penjualan dibagi kepada pemprov dan perusahaan pengolah. Investasi untuk mengolah listrik di lahan 108 hektar itu diperkirakan mencapai Rp500 miliar.

Eko memperkirakan pembangunan TPA di Bantar Gebang, Bekasi akan dimulai Oktober 2008, sekaligus pemancangan tiang pertamanya.

Teknologi CDM

TPA Bantar Gebang yang luasnya 108 hektar itu selama ini digunakan untuk menampung sampah dari DKI yang mencapai 6.000 ton per hari. Menurut Eko, sampai 20 tahun ke depan TPA Bantar Gebang masih bisa dimanfaatkan, maka DKI berencana mengelola TPA tersebut dengan tiga cara, yakni komposting, mengubah menjadi energi listrik, dan membakar gas metana sampah dengan sistem sanitary landfill.

Bisa jadi perubahan pengelolaan sampah yang diterapkan Pemda DKI terkait dengan adanya peringatan Walikota Bekasi Mochtar Mohamad, yang menegaskan, bahwa siapa pun pengelola TPA Bantar Gebang nanti, yang terpenting adalah memiliki teknologi Clean Development Mechanism (CDM). Selain itu, Mochtar Mohamad juga menambahkan, pengelolaan sampah harus berbasis industri untuk mengubahnya menjadi biji plastik dan kompos serta membangun pembangkit listrik yang dapat dinikmati secara gratis oleh masyarakat di sekitar TPA Bantar Gebang.

Keputusan Mochtar untuk memperpanjang kontrak TPA itu juga berarti menentang upaya DPRD Kota Bekasi yang ingin menutup TPA Bantar Gebang, setelah kontrak berakhir pada Juli 2009 nanti. Dewan menilai Pemprov DKI tidak memenuhi kewajibannya mengelola sampah dengan teknologi ramah lingkungan.

Sementara Mochtar setuju perpanjangan kontrak TPA karena alasan industrialisasi. Sebab, Gubernur DKI Fauzi Bowo pernah menjanjikan segera menyulap gunungan sampah seluas 108 hektar itu menjadi sumber uang bagi masyarakat Kota Bekasi.

Di antaranya, dengan mengolah sampah menjadi pembangkit tenaga listrik, yang akan dialirkan ke masyarakat di sekitar TPA secara gratis. DKI bersedia menaikkan nilai kompensasi sampah (tipping fee) menjadi Rp103 ribu dari Rp60.070 per ton sampah.

Mochtar juga melihatbahwa TPA Bantar Gebang tidak mungkin ditutup begitu saja setelah kerja sama berakhir. Sebab, membiarkan sampah open dumping justru berisiko besar menimbulkan kerusakan lingkungan.

Di sisi lain, ketinggian sampah di sana telah melebihi ketentuan maksimum 12 meter dengan kemiringan 45 derajat, sehingga rawan longsor. Padahal, kemiringan ideal tidak lebih dari 30 derajat. Dengan kondisi tersebut, Pemda Kota Bekasi mensyaratkan Pemprov DKI mengelola sampah dengan sistem composting, yaitu mengepres sampah untuk dijadikan bahan bakar gas pengganti batu bara.

Best Practices Sumur Batu

Jika Pemprov DKI Jakarta baru merancang pengelolaan sampah terpadu untuk TPA Bantar Gebang maka Kota Bekasi telah lebih maju dalam pengelolaan sampah terpadu. Di TPA Sumur Batu sebagai lumbung sampah masyarakat Kota Bekasi, sudah diterapkan pengelolaan sampah sebagai sumber energi listrik.

Bagaimana caranya? Bukit-bukit sampah setinggi 13 meter di lahan sekitar 10 hektar di TPA Sumur Batu merupakan sampah organik yang mudah membusuk. Bau busuknya menyengat dan mengundang hadirnya lalat. Di dalam tumpukan sampah busuk yang baunya menyengat itu tersimpan gas metana (CH4). Diperkirakan di tengah timbunan sampah itu mengandung potensi 280.000 ton gas metan.

Sejak tahun 2007, Pemkot Bekasi bekerja sama dengan PT Gikoko Kogyo Indonesia membangun fasilitas dan instalasi pengolahan gas metana, landfill gas flaring (LGF), di TPA Sumur Batu.

Hasil pengolahan gas metana di TPA Sumur Batu akan dibeli pihak Netherland Clean Development Mechanism Facility, yang diwakili oleh Bank Dunia. Mereka membeli 250.000 ton C02 hasil pembakaran gas metana di TPA Sumur Batu sampai tahun 2012.

Pemkot Bekasi berpeluang memperoleh pendapatan sekitar Rp 4,2 miliar setiap tahun, dari tumpukan sampah di TPA Sumur Batu. Separuh pendapatan itu digunakan untuk membiayai program pemberdayaan masyarakat di sekitar TPA Sumur Batu. Sebagian lainnya digunakan Pemkot Bekasi untuk memperbaiki sarana pengangkutan dan pengumpulan sampah kota.

TPA Sumur Batu lokasinya berdekatan dengan TPA Sampah Bantar Gebang milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Selama ini TPA Sumur Batu hanya menampung sampah dari Kota Bekasi. Dengan penduduk lebih dari dua juta orang, Kota Bekasi menghasilkan 1.700 ton sampah setiap hari. Walikota Bekasi Mochtar Mohamad mengatakan, apabila proyek LGF di TPA Sumur Batu dapat beroperasi tahun ini, Kota Bekasi akan mulai kekurangan sampah pada tahun 2009.

Jika sudah beroperasi normal, menurut dia, Kota Bekasi akan siap menampung sampah dari daerah tetangga. Mochtar juga menambahkan, Pemkot Bekasi kini sedang menjajaki peluang mengolah sampah kota menjadi sumber energi listrik. "Kami memandang sampah bukan lagi sebagai masalah, melainkan sebagai sumber ekonomi baru," ujar Mochtar.



Post Date : 30 September 2008