|
Ratusan manusia kocar-kacir. Selimut yang sedari sore menyergap tubuh, dilempar ke sembarang arah .Bangun dan bergegas keluar dari rumah dilakukan penghuni secara serentak, seraya meraih beberapa barang sekenanya. Sebagian orang terkesiap, melongo, begitu manyaksikan rumahnya sudah dirangsek sampah lebih dari setengahnya. Lebih dari 80 rumah hilang ditelan sampah, berikut sekitar 160-an penghuninya. Kasus tsunami sampah ini terjadi di Kampung Cilimus, Leuwigajah, Kabupaten Bandung Jawa Barat, Maret 2005 lalu. Sampah-sampah dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Leuwigajah longsor dan mengubur rumah-rumah di sekitarnya. Kisah Leuwigajah ini memang cerita lama. Sebelumnya, pada tahun 1993, gunung sampah itu sudah pernah longsor. Ini satu bukti bahwa persoalan sampah, ternyata, masih belum dikerjakan dengan baik dan profesional. Apalagi, longsor yang terjadi pada Maret lalu itu, adalah yang ketiga kalinya. Di TPA ini, sampah dikelola dengan teknik yang paling kuno, yakni open dumping. Sampah-sampah itu ditumpuk itu ditumpuk begitu saja tanpa ada pemadatan hingga sampah tersebut menggunung.Pengelolaan sampah model begini, sayangnya, masih terjadi di berbagai kawasan hingga kini. Termasuk pula kawasan pemukiman real estate, seperti Bintaro Jaya, Gading Serpong, Villa Melati Mas, dan beberapa perumahan lainnya. Sampah usaha pun, juga ditumpuk menjadi satu di beberapa Tempat Pembuangan Sementara (TPS) sampah ilegal. Di tempat pembuanagan sementara, sampah tidak dikelola, melainkan hanya ditumpuk. Oleh pemulung, sampah-sampah itu dipilah-pilah, yang sekiranya masih bisa dijadikan duit akan diangkut. Model penanganan sampah seperti menyimpan bom waktu, yang siap meledak. Dan itu sudah terbukti di beberapa tempat pembuangan sampah ilegal. Sekarang ini, banyak banyak pelanggan pembuangan sampah, yang kebanyakan pengembang, mulai ketar-ketir karena di beberapa tempat sampah mulai terjadi gejolak. Di Parung Benying, Pamulang, misalnya, siapa pun tak lagi bisa membuang sampah di sana sejak dua bulan lalu. Begitu juga dengan TPS di RT 02/06 Desa Parigi Baru Pondok Aren, yang akhir Juli ini akan ditutup pemilik lahan mengingat resiko kerugian lingkungannya terlalu tinggi. Aktivitas pembuangan sampah juga mulai terhenti baru-baru ini di sebuah lahan di DesaPaku Jaya Serpong, tepatnya di belakang cluster Cendana Loka, Graha Raya. Pasalnya, warga Cendana Loka merasa keberatan dengan keberadaan tempat pembuangan sampah tersebut yang dianggap telah mangganggu lingkungan. Situasi ini menunjukan, TPS, ataupun TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah, jika tidak dikelola dengan benar, akan bermasalah. Kasus TPA Bantar Gebang Bekasi bisa dijadikan bahan pertimbangan. Belakangan, akibat ketidakpercayaan masyarakat dengan pemerintah, Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bojong Bogor, juga ditolak.Tapi, bagaimana pun, masalah sampah tetap harus dicarikan solusi. Sebetulnya, ada beberapa cara yang bisa diterapkan pemerintah, juga pengembang, dalam mengelola sampah. Yang pasti, gaya open dumping, tak lagi bisa menjadi pilihan. Teknologi sanitary landfill atau incerator (Tungku pembakaran), rasanya lebih baik, karena selain bisa menghasilkan kompos, yang terpenting adalah ramah lingkungan. Berdasarkan pantauan ANDBIN di bilangan Bintaro-Serpong-Pamulang, baru BSD City yang mengelola sampah kawasannya dengan incerator. Perumahan yang dikembangkan Grup Sinar Mas ini memiliki dua mesin penghancur sampah, yang khusus diperuntukan bagi tempat hunian atau ruang usaha yang berada di bawah pengembangan BSD City. Di luar itu, sekalipun lokasinya sama-sama berada di Serpong, tidak dikelola bersama. Bahkan beberapa pasar swalayan besar di Serpong, seperti Giant Supermarket, membuang sampahnya di TPS ilegal di bilangan Parigi Baru. Bila terus-menerus seperti ini, jangan heran jika nanti kita akan menemukan poster atau spanduk yang dipampang bertuliskan; Save the planet, Kill your self!. Post Date : 31 Juli 2005 |