Surabaya - Surya- Pemerintah terus berupaya mencari energi terbarukan sebagai alternatif energi pendukung listrik. Terbaru, Surabaya juga dibidik bisa memberikan kontribusi pengolahan biomasa dari limbah sampah di kota ini. Tak tanggung-tanggung potensinya diperkirakan mencapai 10 megawatt (MW). Jika rata-rata pelanggan rumah tangga menyerap daya 900 volt ampere (VA), jumlah tersebut berpeluang menerangi sekitar 100.000-an rumah.
Kepala Divisi Energi Baru Terbarukan PT PLN (Persero) Muhammad Sofyan mengatakan, pemanfaatan sampah sebagai energi biomasa tengah dijajaki di sejumlah kota. Bahkan, sekitar akhir tahun ini pembangkit listrik tenaga (PLT) sampah akan mulai dioperasikan di Jakarta yakni dari Bantargebang dengan kapasitas 2 MW. Secara bertahap kapasitas itu akan ditambah.
“Surabaya adalah sasaran berikutnya dengan proyeksi bisa menyuplai sekitar 10 MW. Di sini, studi kelayakan sudah selesai dan perusahaan pengelolanya sudah berkonsultasi kepada kami, dan dalam waktu dekat kami akan negosiasi dengan PLN berapa harganya,” kata Sofyan di sela workshop yang digelar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) di Grand City Surabaya, Kamis (29/7).
Hanya saja, dia masih menolak membeberkan perusahaan pembangkit sampah tersebut. Berdasar informasi yang diterimanya, rata-rata volume sampah di Surabaya bisa mencapai 1.200 ton per hari.
Menurut Sofyan, pengolahan sampah menjadi listrik masih merupakan hal baru di Indonesia. Teknologi yang diterapkan adalah Galfad (Gasification. Landfill, an-Aero-bic Digestion), dengan melakukan proses komposting, daur ulang serta mengubah sampah menjadi energi listrik. Untuk bisa mengolah sampah secara penuh menjadi energi listrik, dilakukan pemasangan gas engine, fuel skid, flare stack, serta trafo.
Tak hanya sampah, baik PLN maupun perusahaan pembangkitan juga tengah menggenjot energi di luar minyak dan batubara. Seperti mikrohidro, energi surya, panas bumi, hingga angin. Sebagian masih dalam tahap inventarisasi serta negosiasi harga dengan PLN.
Sofyan mengungkap, saat ini kontribusi penggunaan pembangkit berbahan bakar minyak masih mencapai 25 persen, batu bara 29 persen, gas alam sebesar 13,3 persen, mikrohidro 7,5 persen, dan panas bumi sebesar 2,2 persen.
Padahal, seiring fluktuasi harga minyak dunia yang tak terkendali, biaya produksi listrik dengan menggunakan minyak menjadi lebih mahal. Akibatnya, biaya pokok produksi (BPP) listrik saat ini masih berada di kisaran Rp 1.100 per kilowatt hour (KWH).
PLN, kata dia, berupaya mendorong pemanfaatan potensi energi tersebut untuk menekan biaya pokok produksi listrik. Sebab biaya produksi listrik dari energi terbarukan ini jauh lebih murah dibanding dari minyak.
“Oleh karena itu, penggunaan energi terbarukan itu diharapkan bisa menekan biaya pokok produksi listrik hingga menjadi Rp 900 per KWH pada tahun 2025,” ungkapnya.
Saat ini, PLN sudah membeli 70 MW dari PLTMH, selain juga proposal 400 MW, di mana 300 MW di antaranya sudah kontrak. Pengoperasiannya direncanakan bertahap sampai 2014.
Direktur Energi Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Maryam Ayuni mengatakan, pemerintah terus menerbitkan beleid untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan. “Energi fosil tak bisa diperbarui seperti minyak bumi dan batubara semakin mahal. Kita harus segera meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan, meski memang untuk pengembangan itu biayanya tidak sedikit,” ujar Maryam.
Diakuinya, untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan perlu upaya semua pihak, baik itu pemerintah maupun pengembang swasta. Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM 31/2009 tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN. Dalam Permen itu, ada skema insentif bagi pengembang energi terbarukan saat menjual listriknya ke PLN sebagai operator listrik di Indonesia.
Namun, Permen tersebut dikritisi oleh sejumlah pelaku usaha energi terbarukan. Mereka menilai Permen tersebut hanya cocok untuk pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). “Sehingga, ada kemungkinan untuk direvisi. Kami sedang menghimpun masukan dari para pelaku usaha,” tuturnya.
Maryam mengatakan, kini pemerintah menyiapkan semua kebutuhan untuk peningkatan energi terbarukan, mulai dari infrastruktur energi termasuk perangkat hukum, riset, pembiayaan, dan sumber daya manusia yang dibutuhkan.
Pengamat kelistrikan ITS Surabaya, Mohammad Ashari menambahkan, sebetulnya pemanfaatan limbah sampah untuk energi bisa dilakukan sejak puluhan tahun lalu, tergantung niat semua pihak. Pasalnya, teknologi yang digunakan cukup sederhana, di mana sampah dibakar, dan uap yang dihasilkan bisa untuk menjalankan generator.
“Masalahnya, tergantung fungsi dari pihak pembangkit dan PLN. Memang jika dijual biaya produksinya tak sesuai dengan nilai pembelian dari PLN. Namun, jika dilihat global bahwa pembangkit itu juga mengurangi sampah yang selama ini jadi masalah, tentunya banyak manfaatnya,” papar Ashari.
Ia sendiri mendukung upaya tersebut. Hanya saja, siapa pihak yang akan mau menginvestasikan dana untuk pembangkit tersebut, apakah swasta atau pemerintah daerah, Ashari menyerahkan sepenuhnya kepada pemda setempat.
Oleh karena itu, ia berharap pemahaman semua pihak, termasuk komitmen PLN bahwa energi tersebut cukup dibutuhkan untuk mendukung kebutuhan energi listrik di masa yang akan datang. ndio
Post Date : 30 Juli 2010
|