JAKARTA(SI) – Manajemen pembuangan sampah di DKI Jakarta hingga kini kurang tertata rapi.Akibatnya biaya kerugian yang mesti ditanggung penduduk DKI Jakarta mencapai Rp800 miliar per tahun.
Pakar teknologi lingkungan dari Universitas Indonesia (UI) Firdaus Ali menjelaskan,total kerugian itu dihitung dari biaya yang dikeluarkan masyarakat yang mesti membeli air karena sampah yang mencemari sumber air bersih. Kemudian biaya ke rumah sakit akibat polusi yang ditimbulkan dari sampah dan sanitasi yang memburuk. Akibat sakit,produktivitas kerja warga juga berkurang sehingga pendapatan pun terpotong.
”Bandingkan dengan berapa alokasi pemprov untuk anggaran kesehatan, maka kerugian akibat sampah ini ialah jumlah kerugian yang luar biasa,”kata Firdaus Ali kemarin. Firdaus menambahkan, DKI masih bergantung dengan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Bantar Gebang,padahal kapasitasnya tidak memenuhi sehingga banyak sampah yang bertebaran di jalanan, saluran air, sungai, dan di mana saja. Tercatat volume sampah DKI per hari mencapai 26.945 meter kubik, sedangkan kapasitas TPA Bantar Gebang hanya 4.850 ton.
”Pada 5-10 tahun dari sekarang orang harus pakai masker karena kegagalan me-manage sampah,” lanjutnya. TPA Bantar Gebang sendiri, terangnya, telah menjelma menjadi gunungan sampah yang mencemari lingkungan.Apalagi teknologinya masih menggunakan sanitary landfillyang hanya membuang dan menumpuk sampah ke lokasi cekungan. Sampah kemudian sekadar dipadatkan, kemudian menutupnya dengan tanah. Sebetulnya, lanjut Firdaus, untuk pembuangan sampah yang benar,yaitu setiap jarak 100.000 penduduk, maka harus ada 2 hektare lahan yang mesti disediakan untuk pembuangan sampah konvensional.
Namun masalah lain yang muncul dan belum terselesaikan dengan baik adalah keterbatasan armada. Katanya, dari 850 armada yang tersedia di Dinas Kebersihan DKI Jakarta, hanya 50% yang laik pakai. Akibatnya, ada 1.886 ton sampah yang tidak terangkut dan berserakan di mana-mana. ”Sampah di Jakarta yang mencapai 26.945 meter kubik bila dikumpulkan dalam dua hari bisa menyamai Candi Borobudur,”ungkapnya.
Sementara Project Officer Dana Mitra Lingkungan Maryanto berkomentar, TPA yang dikelola pemprov masih sebatas sanitary landfill dan belum menggunakan sistem incinerator. Sistem incineratormerupakan teknologi pengolahan sampah yang melibatkan pembakaran bertemperatur tinggi. Hasil pembakaran menjadi abu. ”Gas yang dihasilkan menjadi energi pembangkit listrik,” tuturnya. Maryanto sendiri menyayangkan wacana reuse, reduce, and recycle (menggunakan kembali, mengurangi sampah,dan mendaur ulang) yang hanya sebatas omongan.
Program tersebut hanya dikoarkan tanpa perhatian dan dukungan pemerintah. ”Sehingga budaya yang penting sampah tidak berada di halaman rumah sendiri menjadi penyelesaian masalah sampah Jakarta,”ujarnya. Sebagaimana diketahui,TPST Bantar Gebang mempunyai daya tampung 4.500 ton per hari dengan luas lahan mencapai 108 hektare. Kemudian TPST Ciangir dapat menampung 2.500 ton sampah per hari. Beberapa TPST yang kapasitasnya rendah, yaitu TPS Sunter (1.000 ton per hari) dan TPST Cakung (1.000 ton per hari).
Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna Subrata menjelaskan, masalah persampahan yang terjadi di Jakarta tidak hanya tanggung jawab Pemprov DKI.Dirinya menyelaraskan pernyataan tersebut dengan UU No 18/2008 tentang Persampahan di mana persoalan ini menjadi tanggung jawab pemerintah,swasta,dan warga. Namun Eko mengakui armada pengangkut sampah masih terbatas.
”Memang ada 40% yang tidak layak beroperasi,” ujarnya.Kekurangan ini akan ditutupi dengan kerja sama dengan pihak swasta. (neneng zubaidah)
Post Date : 30 September 2009
|