PROBLEMATIKA sampah menjadi kendala tersendiri yang kerap dialami kota-kota besar, termasuk Semarang. Setidak-tidaknya sampah masih menjadi musuh ketimbang sahabat. Padahal bila dikelola secara baik dan benar bisa menjadi sahabat bahkan menjadi salah satu sektor pendapatan kota.
Pengelolaan sampah di Kota Semarang pun dinilai belum optimal. Akibatnya, tempat-tempat yang bukan peruntukkan pembuangan justru menjadi lokasi untuk membuang sampah. Terlihat di selokan, sungai, lapangan, sejauh mata memandang pasti ada gundukan sampah. Seperti di Kali Semarang, sungai yang membelah kota itu tertutup sampah. Aliran airnya pun jadi tersumbat, termasuk baunya kerap menjadi keluhan warga.
Di Kecamatan Semarang Utara saja, lahan-lahan kosong berubah menjadi tempat pembuangan sampah. Di kampung Cilosari, Kelurahan Kemijen misalnya, banyaknya sampah yang menumpuk dikarenakan kurang maksimalnya pengelolaan. Hal itu disebabkan tidak adanya bak penampungan sampah di sana. Warga akhirnya membuang sampah di lahan kosong tersebut.
Setiap hari rata-rata sampah warga yang dibuang sebanyak lima gerobak sampah. Warga hanya membakar sampah tersebut. Memang ada bak penampungan, namun karena terlalu jauh warga enggan membuang ke sana. Produksi sampah di Kota Semarang dalam kurun waktu lima tahun selalu meningkat. Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP), pada 2005 volume sampah hariannya mencapai 4.275 m3. Pada 2007 bertambah menjadi 4.500 m3 dan 2009 sudah mencapai 7 ribu m3. Peningkatan produksi sampah itu, tidak diimbangi dengan pengelolaan yang benar.
Sekarang ini DKP memiliki sekitar 100-an unit truk sampah. Dari armada pengangkut itu baru bisa menjangkau 120 kelurahan dari 177 kelurahan. Sampah yang bisa diangkut hanya 64% atau sekitar 2.700 m3/hari. Kepala DKP Yudi Masdiana menyatakan, masih ada sekitar 2 ribu m3 yang terbuang di sembarang tempat. ”Di sungai, lahan kosong, selokan, masih menjadi tempat pembuangan sampah. Kondisi itu menjadi beban lingkungan setiap hari. Bila dibiarkan menjadi penyebab banjir,” terangnya.
Keberadaan TPA Jatibarang sendiri, diyakininya masih bisa menampung produksi sampah sampai 10 tahun. Namun ia tidak menolak anggapan, kalau volume sampah tiap hari selalu meningkat tentunya akan menjadi persoalan serius di kemudian hari.
Kesadaran Warga
Ia berharap ada kesadaran dari masyarakat mengenai arti penting pengelolaan sampah. Pemkot sedang menggalakkan pengelolaan sampah yang baik dan sederhana dengan menggunakan keranjang takakura serta pengelolaan swadaya di sejumlah kelurahan. Harapannya volume sampah terkurangi tiap harinya.
Berada di Kelurahan Kedungpane, dengan luas 46,18 hektare, pengelolaan sampai di TPA Jatibarang belum mencapai 50 persen dari luasan lahan tersebut. Dari luasan tempat itu, khusus untuk sampah mencapai 27,7 hektare , sedangkan 18 hektare digunakan sebagai infrastruktur kantor dan pengolahan air dan sabuk hijau.
Belum adanya kesadaran buang sampah pada tempatnya diakui oleh sejumlah penyapu jalan dan pembersih gorong-gorong. Satiman yang tiap hari bergelut dengan sampah, berkeluh selalu saja saluran jadi tempat pembuangan. ”Sampai ada kasur dibuang ke sungai,” ungkapnya.
Semi, perempuan yang menjadi penyapu jalan selama 15 tahun juga mengeluhkan soal itu. Ia yang setiap pagi menyapu di wilayah Jalan Pahlawan dan sekitarnya mengaku selalu ada sampah yang terbuang di jalanan. ”Sudah ada tempat sampah, kok buangnya harus di jalan,” ujarnya yang mulai bekerja sejak pukul 03.00.
Penyadaraan pengelolaan sampah disejumlah tempat sudah mulai dilakukan, seperti yang dilakukan PKK Kelurahan Kramas, Tembalang. Pengelolaan sampah sudah menjadi kultural. Mereka mewajibkan setiap rumah memiliki keranjang Takakura. Sampah organik yang dihasilkan dari dapur atau sisa masakan dan makanan wajib dibuang di tempat sampah itu. Dengan begitu volume sampah tiap harinya berkurang. Yang terbuang adalah sampah anorganik. Bahkan Pemkot Semarang pun mulai menegakkan Perda No 6/1993 tentang Kebersihan.
Beberapa minggu lalu, Satpol PP melakukan penertiban di wilayah pasar. Sedikitnya 62 pedagang di sejumlah pasar seperti Peterongan, Bulu dan Johar diajukan ke meja hijau karena terbukti membuang sampah tidak pada tempatnya. Selanjutnya, Satpol PP mengincar tempat publik, seperti terminal, stasiun untuk menegakkan perda kebersihan itu.
Penegakkan disiplin tentang sampah sangat diperlukan. Hanya saja perlu komitmen dan konsekuensi bersama untuk tercipta kota yang ramah kebersihan.Dicky P, Krisnaji Satriawan, Adhitia A
Post Date : 28 Februari 2011
|