|
Dengan bangga Herawati memperlihatkan kompos ciptaan ibu-ibu pengurus Posyandu Lingkungan XII, Kelurahan Pekan Labuhan, Kecamatan Medan Marelan, Medan, Kamis (29/3). "Ini baru satu bulan, setelah semua hancur baru bisa kita panen," kata Herawati sambil menunjukkan tanah kehitaman dalam bak semen. Sejak sekitar tiga bulan lalu, para ibu di Lingkungan XII punya pekerjaan tambahan. Mereka mengumpulkan sampah organik rumah tangga yang kemudian dijadikan kompos. Kerja pengumpulan sampah itu dilakukan pengurus posyandu yang berjumlah enam orang. Tiga hari sekali mereka berkeliling mencari sampah yang sudah dipisahkan di rumah penduduk. "Masih tahap awal, jadi pekerjaannya belum teratur," kata Bachtiar, Kepala Lingkungan XII. Meskipun demikian panen pertama kompos sudah digunakan untuk bertanam jahe di halaman rumahnya. Cara kerja pembuatan kompos cukup sederhana. Sampah-sampah organik dikumpulkan kemudian dicacah-cacah agar halus. "Kalau sampah dari nasi atau ikan sudah halus, jadi kami tidak perlu mencacah," terang Herawati. Sampah yang perlu dicacah adalah sampah dedaunan atau batang pohon. Hasil cacahan itu dimasukkan dalam bak semen ukuran sekitar 2 x 1 meter sedalam 80 centimeter bantuan dari Bina Inspirasi Sahabat Peduli (BIS). Untuk menjadikan sampah itu kompos, sampah diberi mol (mikroorganisme lokal). Mol dibuat dari lima liter air cucian beras yang pertama ditambah satu kilogram cacahan buah manis seperti pepaya atau nanas. Larutan itu ditambah pula dengan seperempat kilogram gula merah, 1 gelas air tetes tebu atau air gula. Biasanya larutan dimasukkan dalam botol. "Larutan dibiarkan tiga hari, jangan sampai ada gas-nya. Setiap pagi botol dibuka untuk mengeluarkan gas-nya," terang Bachtiar, staf BIS. Setelah sampah organik dicacah, cairan mol ditaburkan diatasnya. Setiap 100 liter mol, dicampur dengan 10 liter air biasa. "Begitu seterusnya, sampai bak penuh," kata Bachtiar XII bersemangat. Setelah ditaburi mol, sampah tidak akan bau. Sampah harus ditutup plastik agar tidak dihinggapi lalat dan tidak terkena sinar matahari langsung. Dengan demikian kelembaban sampah juga terjaga. "Hasilnya lumayan," kata Herawati. Dalam proyek percobaan, kompos masih diharga Rp 6.000 hingga Rp 10.000 per goni ukuran 30 kilogram. Penjual tanaman hias dan pencinta bunga menjadi pasar potensial mereka. Bagaimana dengan sampah plastik? Sampah itu oleh BIS diolah menjadi biji sampah yang juga potensial untuk dijual. Pengalaman BIS menangani sampah menunjukkan, selama ini sampah masih dianggap sebagai masalah oleh masyarakat. Padahal didalamnya tersimpan potensi ekonomi yang luar biasa jika kita bisa memanfaatkannya. Paradigma itu kini yang perlu diubah agar masyarakat tidak gengsi mengurusi sampah. (wsi) Post Date : 30 Maret 2007 |