Sampah, Problem Superpelik

Sumber:Pikiran Rakyat - 22 Desember 2005
Kategori:Sampah Luar Jakarta
BERAWAL dari longsornya tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah di Kp. Pojok, Kel. Leuwigajah, Kec. Cimahi Selatan dan Desa Batujajar Timur, Kab. Bandung 21 Februari 2005 lalu, persoalan sampah terutama di Kota Bandung menjadi superpelik. Longsoran jutaan kubik sampah setinggi 30 meter hingga menewaskan 143 jiwa, melukai ratusan orang, menimbun 58 rumah dan dua masjid itu, tidak hanya menorehkan luka bagi warga yang kehilangan anggota keluarganya, namun juga warning bagi Pemkot Bandung dan Cimahi, serta Kab. Bandung, yang membuang sampahnya di sana. Harus diakui, longsor tersebut akibat pengelolaan TPA yang serampangan, meskipun belakangan kerap terdengar kalimat, "Siapa sih yang menginginkan musibah".

Sejak itu, ketiga daerah ini menghentikan aktivitas membuang sampah di Leuwigajah. Kota Bandung sebagai pembuang sampah terbesar, paling terpukul dibandingkan Cimahi atau Kab. Bandung. Semula, lahan milik Kota Bandung di TPA Leuwigajah seluas 17,5 hektare menjadi andalan tempat pembuangan sampah. Setiap hari, paling tidak 3.500 m3 sampah dibuang ke TPA tersebut.

Jalan satu-satunya, TPA Jelekong di Kab. Bandung yang juga milik Pemkot Bandung seluas 10 hektare, kembali dijadikan andalan. Kendati kemampuan Jelekong hanya 700 m3/hari, namun dipaksakan "menelan" sampah hingga 2.500 m3/hari. Akibatnya, dalam beberapa bulan saja, Jelekong sudah kamerekaan. Bahkan, akhir Desember 2005 ini kontrak Jelekong berakhir.

Lantas, ke mana sampah Kota Bandung akan dibuang? Padahal, produksi sampah Kota Bandung dalam sehari mencapai 7.500 m3. Pemkot sempat memanfaatkan TPA Cicabe dan Pasir Impun, yang ditutup menjelang peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) 24 April lalu. Namun, kemampuan dua TPA ini juga hanya sebulan.

SEJAUH ini, Pemkot Bandung belum menemukan lokasi pengganti yang jelas. Sejumlah lokasi di Kab. Bandung pun disisir untuk dijadikan TPA baru. Berdasarkan hasil penyisiran, selain tawaran pemilik lahan, pemkot berhasrat membeli lahan di Citatah, Kec. Cipatat seluas 10 hektare. Tetapi, masyarakat di sana keberatan dan Pemkab Bandung selaku pemilik wilayah juga belum memberikan "lampu hijau". Akhirnya, pemkot mantap memakai TPA Babakan pascapenutupan Jelekong nanti. Tetapi lagi-lagi, sebagian besar warga juga keberatan. Entahlah, sejauh ini belum ada kabar pasti tentang Babakan.

Bersama Wagub Jabar Nu'man Abdul Hakim, Wali Kota Bandung Dada Rosada sempat "terbang" ke Malaysia untuk melihat teknologi pembuangan sampah. Selain itu, wali kota juga menyambangi sejumlah kota di Cina untuk kepentingan yang sama. Di Cina, sampah dipilah-pilah oleh mesin. Sedangkan di Bandung, masih dipilah-pilah manusia (baca: pemulung, dll). Selain itu, Cina juga mampu mengolah sampah menjadi energi listrik. Sementara di Bandung, paling banter untuk kompos. Itu pun daya serapnya tidak seberapa.

"Karakteristik sampah di Bandung relatif sama dengan di Cina. Namun, mereka mampu mengolahnya menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi. Kalau di Cina bisa, kenapa kita masih manual. Kita harus mampu memanfaatkan sampah seperti di Cina dan negara-negara maju lainnya," ujar Dada, saat menyampaikan "oleh-oleh" dari Cina.

Wali kota dan rombongan yang tergabung dalam "Konsorsium Pengelolaan Sampah" Kota Bandung itu, sempat melihat Shanghai Huancheng Waste to Energy yakni sebuah industri pengolahan sampah yang dibangun China National Heavy Machinery Corporation, sebuah perusahaan besar di Cina. "Pengolahan sampah dengan cara membakar itu, mampu menghasilkan tenaga listrik. Produk energi yang bernilai ekonomis tinggi," kata Dada.

Persoalannya, penerapan teknologi selain tidak bisa dilakukan dalam waktu cepat, juga membutuhkan dana tidak sedikit. Apalagi, belasan investor yang sudah mendaftar untuk mengolah sampah Kota Bandung, juga tidak kedengaran kabarnya lagi. Padahal, sepekan lagi TPA Jelekong tamat riwayatnya. Di sisi lain, TPA Babakan juga masih diperlukan kepastian lebih tegas, baik dari warga maupun Pemkab. Bandung.

FAKTA empirik menunjukkan, jumlah penduduk yang terus meningkat akan meningkatkan konsumsi masyarakat dan hal ini akan mengakibatkan semakin bertambahnya volume sampah. Sedangkan manajemen pengelolaan sampah yang dilakukan saat ini, tidak lebih dari sekadar memindahkan masalah. Artinya, sampah dari satu tempat diangkut ke tempat lain.

Itupun, pengelolaannya cukup open dumping (buang dorong) serta tidak memenuhi standar memadai. Apalagi, berdasarkan kesimpulan Kementerian Lingkungan Hidup, lokasi TPA juga tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah (RTRW). Akibatnya, timbul berbagai masalah, antara lain pencemaran lingkungan, konflik sosial, dan menimbulkan penyakit bagi masyarakat yang bermukim di sekitar lokasi TPA.

Dari aspek peraturan perundang-undangan, sejauh ini harus diakui pada tingkat nasional terdapat beberapa undang-undang yang berkaitan dengan sampah. Hanya, berbagai perangkat hukum itu masih diatur secara parsial, sektoral, ad hoc, dan tidak komprehensif.

Misalnya, yang diatur di dalam UU Kesehatan, UU Permukiman, UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU Perindustrian. Di tingkat daerah, masalah sampah diatur dalam perda. Hal ini tidak dapat menjangkau hal-hal lain seperti perubahan pola pikir pengelolaan sampah yang mencakup proses pengelolaan dari hulu sampai ke hilir.

seminar "Kajian Kebijakan Lingkungan Hidup dalam Penanggulangan Sampah Kota" awal Juni 2005 yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Bidang Kesra dengan Kanwil BKKBN Prov. Jawa Barat, menekankan agar tragedi Leuwigajah jangan sampai terulang.

Dalam seminar itu, BPLHD Kota Bandung menyampaikan sejumlah solusi penanganan sampah, walaupun tidak lebih dari sekadar teori. Terbukti, solusi plus teori itu belum mampu menjawab persoalan sampah hingga saat ini.

Di antara yang disampaikan BPLHD Kota Bandung, penanganan sampah harus ditanggulangi semua pihak. Apabila ditangani secara serius, maka sampah bukan lagi musuh tapi sahabat, karena bisa didaur ulang, dan dapat menghasilkan peningkatan ekonomi. Air limbah bila diolah tidak akan merugikan dan harus ada keterpaduan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Kemudian, pemberdayaan masyarakat di lokasi pembuangan sampah. Teori yang dilontarkan, sampah bukan lawan, tapi kawan dan mempunyai sumber daya yang bernilai ekonomi, mengubah paradigma perilaku masyarakat mulai dari keluarga untuk memilah dan memilih sampah, pola pembuangan menjadi pengolahan sampah keluarga, TPS baru, hingga upaya penanganan sampah harus tetap dilakukan melalui sosialisasi kepada semua komponen melalui berbagai lembaga sosial masyarakat.

Pada sebuah kesempatan, Ketua DPRD Kota Bandung Husni Muttaqien juga menyatakan setuju diterbitkan peraturan daerah (perda) khusus tentang penanganan sampah, guna mengatasi problem sampah di Kota Bandung. Bahkan, Husni menyarankan dalam perda dicantumkan pasal pengaturan sampah rumah tangga, mengingat produksi sampah terbesar berasal dari rumah tangga. Pernyataan Husni tersebut, merespons pendapat Wali Kota Dada Rosada terhadap pentingnya perda penanganan sampah, karena persoalan sampah di Kota Bandung bukan lagi permasalahan ringan.

Menurut Dada, sudah saatnya pembungkus dari bahan plastik diganti dengan kertas. Sebab, sampah plastik secara kimiawi sulit terurai dalam tanah sehingga menyebabkan terjadinya polusi tanah. "Kepada pemilik rumah makan, warung atau toko kelontong hingga supermarket, diharapkan mengurangi penggunaan tas plastik dan diganti dengan bahan kertas," tuturnya.

Dia mengisyaratkan, anjuran penggunaan pembungkus dari bahan kertas akan dimasukkan dalam lembaran kota tentang rancangan perda penanganan sampah. "Larangan menggunakan pembungkus dari bahan plastik, kemungkinan besar akan dimasukkan dalam rancangan perda. Bagaimanapun, penanganan persoalan sampah ini tidak hanya tanggung jawab pemkot, namun harus didukung seluruh masyarakat," katanya.

Pertanyaannya, bagaimana sikap warga Kota Bandung terhadap kesulitan yang dihadapi pemkot?

PROGRAM Cikapundung bersih yang diusung Wali Kota Dada Rosada, dikhawatirkan hanya milik kalangan tertentu, sementara warga kebanyakan tidak peduli. Lihat saja di permukiman padat penduduk kompleks Babakan Ciamis, sebagian warga menjadikan Sungai Cikapundung sebagai tempat membuang sampah. Terlepas sudah tumbuh atau belum kesadaran warga untuk tidak membuang sampah ke sungai, cara yang paling praktis mengatasi problem sampah yakni menumbuhkan kesadaran warga.

"Setiap bulan kami membayar retribusi sampah dibarengkan rekening listrik. Justru kami bertanya, kok sampah di sini (kompleks Babakan Ciamis), jarang diangkut truk kebersihan. Jangan salahkan warga kalau akhirnya membuang sampah ke Cikapundung," ujar seorang warga.

Soal membayar retribusi sampah ke Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan Kota Bandung, warga kota yang punya rumah dan pasang listrik, tidak luput dari kewajiban membayar retribusi sampah antara Rp 2.000,00-Rp 4.000,00/bulan. Itupun, tidak sedikit lingkungan RT/RW yang juga menarik iuran sampah meskipun besarannya atas kesepakatan warga. Namun, hasil iuran sampah di lingkungan RT/RW tidak untuk disetor ke PD Kebersihan, tapi untuk menggaji tenaga pengambil sampah dari rumah ke rumah, sebelum kemudian di buang ke TPA terdekat.

Soal sampah, juga tidak lepas dari tingkat kedisiplinan warga. Tidak hanya di lingkungan padat penduduk dan rata-rata berekonomi pas-pasan, namun di lingkungan elit pun tidak menjamin warganya disiplin.

Tidak jarang, saluran air di perumahan elite juga penuh sampah meskipun di lingkungan padat penduduk lebih parah lagi. Akibatnya, jika hujan turun meskipun tidak deras, terjadi banjir cileuncang (genangan air).

Terlepas dari tingkat kedisiplinan warga yang masih rendah, permasalahan sampah di Kota Bandung, seperti diakui Dirut PD Kebersihan Awan Gumelar memang pelik. Menurut dia, antara kemampuan mengangkut dengan produksi sampah setiap hari, masih timpang. Saat ini, produksi sampah warga Kota Bandung mencapai 7.500 m3/hari. Jika sebelum longsor Leuwigajah mampu mengangkut 4.500 m3, selanjutnya maksimal 2.500 m3/hari ke TPA Jelekong.

Artinya, masih terdapat sisa 500 m3 yang tidak terangkut. Selain persoalan TPA yang belum jelas, PD Kebersihan Kota Bandung hanya memiliki 77 truk pengangkut sampah, sedang idealnya 150 truk. Demikian pula dengan personel, PD Kebersihan hanya mampu mempekerjakan 1.548 orang. Dari jumlah itu, tercatat 100 orang di antaranya berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Dengan begitu, sebanyak 1.448 personel yang berstatus tenaga harian maupun kontrak, digaji dari hasil retribusi yang disetor masyarakat.

Entah dalih atau upaya mencari pembenaran, jika hasil retribusi sampah terkumpul dari masyarakat hanya habis untuk biaya operasional dan gaji "pasukan sampah". Kendati dalam setahun terkumpul sekira Rp 14 miliar, tetapi jumlah tersebut hanya pas-pasan untuk membiayai kedua komponen itu, ditambah biaya perawatan kendaraan. Angka Rp 14 miliar, belum memberi keuntungan bagi PD Kebersihan Kota Bandung.

"Sampai saat ini, PD Kebersihan belum mendapat untung. Dana masyarakat yang terkumpul dari jasa pelayanan kebersihan, hanya cukup untuk operasional, biaya perawatan kendaraan, dan gaji personel. Itu saja, kami belum mampu menangani sampah seluruhnya. Kami menyadari, masyarakat banyak yang mengeluh. Tetapi, keterbatasanlah yang membuat kami belum bisa memuaskan warga Bandung," tutur Awan.

Menurut dia, potensi dana masyarakat dari jasa pelayanan kebersihan di Kota Bandung sebenarnya lebih dari Rp 20 miliar. Namun demikian, sejauh ini PD Kebersihan baru mampu menyerap berkisar Rp 14 miliar.

Berdasarkan klasifikasi, rumah tinggal (RT) menempati urutan pertama yakni 65 persen sebagai kelompok yang berpotensi memberi kontribusi jasa kebersihan, disusul pabrik/industri, dan perkantoran.

"Penarikan bersamaan pembayaran rekening listrik belum optimal. Hal ini akan kami evaluasi untuk mencari penyebabnya," kata dia.

Di sisi lain, proses pembuangan sampah di Kota Bandung sejak diambil dari rumah ke rumah sampai dibuang ke TPA, masih bercampur antara sampah organik dan non-organik. Pemisahan sampah organik dan non-organik sempat diterapkan tahun 1987, namun tidak berjalan efektif.

Awan juga berharap, masyarakat ikut meminimalisasi produksi sampah lewat "3R" (re-use, recycle, reduce), menggunakan kembali sampah organik menjadi kompos, melakukan daur ulang sampah, dan mengurangi sampah. "Jika sampah dikelola sedikit demi sedikit, pasti akan lebih mudah daripada mengelola timbunan sampah yang banyak," ujarnya. (Ibnu Sofwan/"PR")

Post Date : 22 Desember 2005