Jakarta, Kompas - Produsen yang menggunakan kemasan berbahan plastik yang tidak bisa didaur ulang bertanggung jawab untuk mengurangi dan menarik kemasannya. Mekanisme penarikan produk, berikut insentif bagi produsen yang mematuhinya, harus masuk dalam rancangan peraturan pemerintah yang sedang disusun.
Hal itu disampaikan Direktur Indonesian Center for Environmental Law Rino Subagyo di Jakarta, Senin (30/8). Ia menyampaikan hal tersebut terkait temuan lebih dari 11 miliar bungkus mi instan menjadi sampah plastik tidak bernilai ekonomis sehingga tidak didaur ulang.
”Peraturan pemerintah tentang pengurangan sampah harus mengatur kewajiban produsen untuk mengganti kemasan dengan kemasan yang lebih ramah lingkungan. Juga mekanisme penarikan berbagai kemasan plastik yang tidak bisa didaur ulang. Itu dikenal dengan asas extended producer responsibility atau EPR,” kata Rino.
Rino menegaskan, tanpa kewajiban bagi produser untuk mengganti kemasan plastik yang tidak bisa didaur ulang, dan menarik sampah kemasan yang tidak bisa didaur ulang, mustahil Indonesia bisa mengurangi timbulan sampah plastik. Pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mewajibkan produsen mengelola kemasan atau barang produksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.
Deputi Bidang Penataan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Ilyas Asaad menyatakan, draf rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang pengurangan sampah dan RPP tentang penanganan sampah sudah diterima dan akan dibahas mulai Jumat ini.
”Draf itu telah menyebutkan EPR sebagai cara mengurangi timbulan sampah, tetapi bagaimana mekanisme pelaksanaannya belum diatur. Kami akan merinci mekanisme itu, juga mengatur sanksi administrasi bagi pengusaha yang tidak mematuhi EPR,” kata Ilyas.
Kembangkan bioplastik
Secara terpisah, Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak 2003 mengembangkan riset produksi bioplastik atau plastik terdegradasi. Sekarang sedang dikembangkan riset bioplastik yang lebih kompetitif dengan menghilangkan salah satu mata rantai produksi.
”Ada proses pemutusan mata rantai lemak yang diharapkan bisa menekan biaya lebih dari 50 persen,” kata Khaswar Syamsu dari Pusat Penelitian Bioteknologi IPB. Hasil uji coba penguraian bioplastik oleh mikroba di dalam tanah berhasil dalam waktu 80 hari.
Syamsu menggunakan bahan baku pati sagu sebagai sumber karbohidrat atau minyak sawit mentah sebagai sumber lemak. Proses pembuatannya meliputi memecah senyawa kimia pati sagu atau lemak sawit dengan proses hidrolisis dengan penambahan air untuk menghasilkan karbon. Kemudian ditambahkan urea sebagai sumber utama nitrogen dan ditambahkan sumber mineral, seperti kalsium, kalium, dan magnesium. Larutan ini dipanaskan sampai 120 derajat celsius untuk membunuh mikroba tak dibutuhkan.
Selanjutnya, didinginkan dan ditambahkan mikroba Ralstonia eutropha, yaitu bakteri yang diidentifikasikan paling produktif untuk menghasilkan Poli-3 hidroksialkanoat (PHA) sebagai biang bioplastik. (ROW/NAW)
Post Date : 31 Agustus 2010
|