|
Banjir bagi umumnya warga adalah bencana. Namun, tidak sedemikian hitam-putih cara pandang warga Kampung Pulo, Kelurahan Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Bagi warga di pinggiran Sungai Ciliwung itu, banjir adalah rutinitas tahunan yangkalau bisadicoba untuk dinikmati. Ada gembiranya, ada sedihnya. Gembiranya, kami jadi sering kumpul-kumpul seperti ini. Sedihnya, kalau banjir datang, kami enggak bisa ngapa-ngapain. Memasak pun enggak bisa, tutur Ida (47), warga RT 15 RW 02 Kampung Pulo Dalam yang rumahnya hanya berjarak sekitar 10 meter dari Sungai Ciliwung. Tidak terlihat raut sedih atau muram di wajah Ida dan beberapa ibu rumah tangga lainnya saat mereka bercerita soal banjir kepada Kompas, Jumat (23/12). Bahkan, mereka bertutur sambil diselingi canda tawa seolah cerita banjir bukan lagi bencana, melainkan rutinitas biasa. Bagi warga kampung itu, banjir bagaikan tamu tak diundang yang tidak bisa ditolak kehadirannya di musim hujan. Menurut Ida, sudah dua kali di musim hujan pengujung tahun 2005 rumah mereka terendam banjir. Pertama, hari Jumat (16/12) dengan tinggi air sekitar satu meter dan kedua, hari Minggunya setinggi dua meter. Seperti banjir-banjir sebelumnya, banjir di akhir pekan ketiga bulan Desember itu kiriman dari Bogor. Kita dikabari akan banjir jam 03.00 (dini hari). Banjirnya datang jam 06.00. Waktu banjir, daerah sini seharian panas, kata Syamsiyah (35), warga RT 16. Banjir di permukiman itu, memang, tidak selalu terjadi saat kampung tersebut diguyur hujan. Dan itu bukanlah hal aneh bagi mereka. Pengalaman dilanda banjir selama bertahun-tahun membuat mereka waskita. Di antara penanda datangnya banjir itu adalah ketika Sungai Ciliwung mulai dipenuhi sampah-sampah. Kalau tanda-tanda sampah kiriman itu mulai banyak, kita langsung minta informasi ketinggian air di Pintu Air Depok dan Manggarai. Jika air di Depok sudah tinggi, kita tinggal hitung perjalanan air dari Depok-Kampung Melayu sekitar tujuh jam. Dalam rentang tujuh jam itulah, warga mempersiapkan diri menghadapi banjir, papar Awang Sanwani (48), Ketua RW 02. Begitu pentingnya mengetahui kehadiran sampah-sampah kiriman itu untuk mendeteksi banjir, belakangan ini warga mengaku lebih intensif dalam mengamati Sungai Ciliwung. Mengamati sampah sungai itu tak ubahnya sebagai kiat mengenali kehadiran banjir dan menentukan langkah tepat dalam menghadapinya. Loteng penyelamat Informasi seputar banjir itu langsung disampaikan ke warga, baik melalui RT-RT maupun dari mulut ke mulut. Jika hal ini terjadi malam hari, warga diimbau tidak tidur. Pada saat itulah, warga biasanya segera menyelamatkan barang perabotan rumahnya ke loteng. Sebagian besar rumah di Kampung Pulo, yang berdempetan dengan gang-gang sempit seperti jalan tikus, dilengkapi dengan loteng untuk menyelamatkan perabotan dari banjir. Ketika banjir datang, perabotan rumah telah terlindung di loteng. Di rumah itu pula, sebagian besar warga telah memiliki ban untuk penyelamatan diri. Soal keselamatan jiwa, ini tergantung pada besar-kecilnya banjir. Jika banjir tidak terlalu besar, warga cukup tinggal di loteng itu. Namun, jika banjir tersebut diperkirakan besar dan mengkhawatirkan, warga akan mengungsi di SD Santa Maria, Jalan Jatinegara Barat, yang selama ini dipergunakan sebagai tempat evakuasi korban banjir. Kalau sudah banjir, biasanya kami enggak bisa keluar. Hanya diam di atap-atap rumah. Kalau mau keluar, kami pakai ban. Untuk makan, kami mengandalkan mi yang sudah disiapkan sebelum banjir, ujar Timah (27). Ida menambahkan, karena letaknya jauh dari dapur posko banjir, mereka sering tidak mendapat jatah makan. Menurut Ida, yang mengaku asli dilahirkan di kampung itu tahun 1958, banjir Sungai Ciliwung adalah fenomena tahun 1970-an. Di masa kecilnya, air sungai di sebelah rumahnya masih bening hingga permukaan tanahnya terlihat jelas. Tahun 1974, banjir pun mulai muncul akibat rusaknya daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung. Dari pengamatan Kompas, kerusakan DAS Ciliwung itu kini semakin parah. Selain sungainya mendangkal, bantaran sungai itu juga menghilang, tergerus bangunan-bangunan yang menjorok ke sungai. Di tengah ancaman banjir, warga Kampung Pulo terlihat adem ayem. Mereka tetap beraktivitas (mencuci, buang air besar, dan lain-lain) secara normal di atas rakit-rakit. Bahkan, di tengah ancaman banjir itu, warga dengan tenangnya membangun rumah di pinggir sungai. Kami sudah terbiasa dengan banjir. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, ujar salah satu pekerja di tempat tersebut. Wacana rumah susun Di mata Pemerintah Kotamadya Jakarta Timur, keberadaan permukiman di bantaran Sungai Ciliwung itu menjadi salah satu penyebab banjir yang semakin parah. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur mengajukan pembangunan rumah susun panggung untuk warga Kampung Melayu di bantaran Sungai Ciliwung. Wali Kota Jakarta Timur Koesnan A Halim mengatakan, rencana pembangunan rumah susun panggung itu akan diajukan ke Pemprov DKI tahun 2006 ini. Pemkot Jaktim sudah menyiapkan desain rumah panggung yang rencananya dibangun sebanyak 10 unit yang bisa menampung 2.000 keluarga. Dengan rumah susun panggung itu, normalisasi bantaran Sungai Ciliwung bisa dilakukan karena air bisa mengalir dari bawah rumah. Selain itu, warga yang menolak direlokasi dengan alasan akan menjauhkan mereka dari tempat kerja atau beraktivitas sekarang sudah mendapatkan solusi yang menguntungkan. Di sini tempatnya enak. Mau ke mana-mana dekat: pasar besar atau kecil, terminal, pertokoan, atau stasiun. Kalau disuruh harus pindah, rasanya sulit, kata Syamsiyah. Hal ini tentu menjadi tantangan Pemkot Jaktim. Pendekatan kepada warga akan terus dilakukan karena penolakan warga masih tinggi. Sebab, upaya untuk bisa mengembalikan bantaran kali pada fungsinya harus terus dilakukan jika Jakarta tidak ingin kebanjiran terus, kata Koesnan.MH Samsul Hadi dan Ester l napitupulu Post Date : 05 Januari 2006 |