Sampah Menguji Kita!

Sumber:Kompas - 11 September 2006
Kategori:Sampah Jakarta
Ya benar, kita sedang diuji sampah. Mampukah kita lulus dari ujian itu? Tragedi pembuangan sampah di Bantargebang, Bekasi, menunjukkan kita belum lulus.

Tiga pemulung sampah ditemukan tewas tertimbun longsoran sampah. Menurut saksi mata, ada dua orang yang masih tertimbun. Luka-luka tercatat enam orang.

Tumpukan sampah yang longsor setinggi 22 meter menyalahi ketentuan yang menetapkan tumpukan paling tinggi 12 meter. Enam orang dari perusahaan pengelola sampah, yakni PT Patriot Bangkit Bekasi, sedang diperiksa Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi.

Mengapa kita katakan sampah menguji kita? Karena beberapa waktu lalu penduduk sekitar pembuangan sampah Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, juga tertimpa longsornya gundukan sampah. Sedikitnya 88 korban tewas. Kenapa dikatakan sampah pun menguji kita? Sampai kini, adakalanya penduduk sekitar pabrik pembuang sampah di Bojong, Bogor, masih unjuk rasa memprotes kehadiran pabrik yang sudah ditutup itu.

Ada alasan lain, mengapa kita merasa sedang diuji oleh sampah? Sampah secara langsung dikaitkan dengan kondisi kemiskinan bangsa. Naik turunnya jumlah pengumpul sampah di kota-kota besar seperti Jakarta menunjukkan bertambahnya warga yang masuk kota dari pedalaman. Mereka mengadu nasib, mencari nafkah dengan cara apa pun, termasuk yang setiap kali tampak naik turun adalah pemulung sampah.

Sulitnya mencari pekerjaan kiranya merupakan sebab pokok kenapa sesama warga itu menangkap kesempatan yang ada, termasuk mengumpulkan sampah. Adakalanya anak istri pun dibawa ke kota. Dengan sengaja ditegaskan, yang sedang diuji kita, bukan saja pemerintah. Pembagian tugas memang ada dan berlaku. Pemerintah yang menyelenggarakan pemerintahan termasuk mengelola sampah. Namun, mana mungkin pemerintah sanggup dan lancar jika kita, masyarakat terutama elite pimpinan politik, gerakan, dan pelaku bisnis tidak aktif berpartisipasi sesuai posisi masing-masing.

Sekaligus kita ingin menggugat diri, apa yang tidak beres dengan kita. Mengapa oleh Vietnam pun kita yang berpenduduk 220 juta dan masih bersumber kekayaan alam itu belum juga bangkit bersama, seia sekata mengejar ketinggalan. Kita masih juga asyik saling tuding dan enggan meletakkan tanggung jawab pada bahu masing-masing sesuai komitmen bersama, tanggung jawab bersama dalam pembagian posisi dan tugas sesuai dengan asas serta praktik demokrasi. Perlu dipahami, apa pun sistem politik yang berlaku, apalagi untuk sikap budaya kita bersama dewasa ini berikut akumulasi persoalan dan tantangan, diperlukan bekerjanya kepemimpinan yang efektif pada semua tingkatan.

Kelihatannya sepele, sampah longsor gara-gara timbunan melewati batas maksimum 12 meter. Siapa yang harus mengontrol dipatuhinya ketentuan itu. Cari tempat pembuangan sampah kini sulit dan pelik. Bagaimana dan siapa harus mengatasi persoalan dan tantangan itu? Masuk akal jika untuk kota besar seperti Jakarta dan Bandung, soal sampah akan masuk dalam agenda dan kualifikasi pemilihan gubernur baru.

Post Date : 11 September 2006